Pengintip

Rabu, 30 Mei 2012

Mengintip Tulang Bawang Barat

Sudah enam bulan aku menjadi seorang guru di Tulang Bawang Barat. Ketika aku menyebutkan nama daerah tersebut, banyak orang yang tidak tahu di mana daerah itu berada. Tulang Bawang Barat adalah suatu kabupaten baru, yang merupakan pecahan dari Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Karena masih baru, Tulang Bawang Barat pun belum ada di peta, sehingga wajar ketika banyak orang yang belum tahu daerah ini.

Aku tepatnya tinggal di Desa Indraloka 2, Kecamatan Way Kenanga. Tidak banyak yang bisa dilihat di sini. Sejauh mata memandang Aku hanya melihat perkebunan karet, perkebunan singkong atau perkebunan kelapa sawit. Jalan beraspal yang nikmat untuk dilalui hanyalah Lintas Timur Sumatera. Sisanya? ya hanya jalan berbatu dan jalan tanah, tanahnya pun jenis tanah lempung yang tidak bisa menyerap air. Sehingga ketika hujan deras mengguyur daerah ini, maka siap-siap saja harus melalui jalanan berlumpur.

Tempat tinggalku tidak terlalu jauh dengan Lintas Timur Sumatera, hanya perlu 15 menit jalan kaki saja dari sana. Untuk pulang ke daerah asalku di Bandung bahkan cukup mudah, hanya tinggal jalan kaki lalu mejeng di pinggir jalan sambil menunggu bis dengan tujuan ke Pulau Jawa. Desa ini walaupun terletak di Kabupaten Tulang Bawang Barat, akan tetapi berbatasan langsung dengan Mesuji. Sehingga ketika aku menyebrang di jalan poros yang ada di depan rumahku, maka aku akan tiba di Mesuji. Ketika menyebrang lagi, maka kembalilah aku ke Tulang Bawang Barat.

Mayoritas penduduk di sini adalah orang Jawa. Pertamanya aku juga bingung bahkan aku pun bertanya-tanya apakah pesawat yang Aku naiki tempo hari itu betul-betul membawa ke Pulau Sumatera atau malah membawaku ke Yogyakarta? Karena aku bukannya mendengar Bahasa Lampung, akan tetapi selama ini sejauh kuping mendengar hanyalah Bahasa Jawa. Bahkan sayup-sayup aku bisa mendengar Bahasa Bali dari kejauhan dan bahasa Sunda. Ko bisa? Karena daerah ini adalah daerah yang ditempati para transmigran.

Lampung dikenal sang bumi ruwai jurai, yang katanya sih artinya satu rumah tangga dengan dua keluarga (ruwai dan jurai), maksud dari dua keluarga katanya sih masyarakat Lampung memiliki dua penduduk yakni penduduk asli dan penduduk pendatang. Karena menjadi daerah bagi para transmigran, maka Lampung bisa dibilang seperti Indonesia kecil karena beberapa suku di Indonesia bisa kita temui di sini. Selain orang Lampung di sini ada orang Jawa, Bali, Bugis, Papua dan Sunda.

Beberapa waktu lalu aku main ke rumah salah satu muridku di kampung Sunda yang berada di daerah Mesuji. Rasanya seperti pulang ke Bandung, karena semua orang menggunakan Bahasa Sunda, sadayana tiasa nyarios Basa Sunda. Seperti di dalam teori proksimiti, orang akan mudah berinteraksi ketika memiliki unsur kedekatan. Aku sangat mudah masuk ke kampung ini karena aku berasal dari suku Sunda, rasanya seperti di rumah sendiri.

Banyak yang bilang, beruntunglah Aku karena hanya mendapatkan tugas di Tulang Bawang Barat. Tantangan geografisnya hanyalah jalanan berbatu dan berlumpur, tidak seperti di daerah lain yang harus mengarungi sungai bahkan terletak di suatu pulau kecil. Tapi justru tantangan tebesar di sini adalah sosiologinya. Ketika di Lampung kita akan banyak menemui orang dengan pola tingkah laku yang berbeda-beda sesuai daerah asal. Sehingga di sini sulit untuk beradaptasi dan melakukan sebuah perubahan. Setiap orang hidup seperti robot yang sudah memiliki sistem di dalam kepalanya. Belum lagi kehidupan di desa yang mana kicauan-kicauan dengan mudahnya tersebar dari kuping yang satu ke kuping yang lainnya. Bahkan kicauan akan mendapat berbagai macam bumbu dari satu kicauan ke kicauan lainnya. Terkadang untuk menghadapi orang-orang di sini Aku harus berlapang dada dan menghela nafas.

Tapi justru di situlah seninya. Aku seperti kuliah kehidupan melihat warna warni kehidupan yang Tuhan ciptakan di dunia ini. Mengenal karakter dan akar rumput bangsa Indonesia secara lebih dalam, karena Indonesia bukan cuma Pulau Jawa dan Jakarta.

Hidup Penuh Warna

Mungkin sudah sering kita dengar kata-kata yang ada di judul tulisan ini, "Hidup Penuh Warna".
Bayangkan jika kita mewarnai sebuah gambar dengan satu warna saja, yang menggambar pun akan bosan dan yang melihat pun akan jemu. Tapi suatu gambar yang memiliki banyak warna jelas tidak akan membosankan.

Sama dengan hidup.

Klise memang, tapi kita sudah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk hidup di dunia. Dunia ini bukan hanya ada yang di sekitar kita, dunia ini luas! Sayang rasanya hingga ujung waktu, kita hanya melihat yang itu-itu saja. Lihatlah warna-warni dunia yang Tuhan ciptakan.

Berani keluar dari zona aman, berani memutar arah haluan! Jangan selalu mengikuti jalur yang  ada, lompat, belok, putar arah, lalu cari warna sebanyak mungkin. 

Di sini Aku ingin berbagi cerita tentang bagaimana aku melihat warna-warni dunia. Dari sudut pandangku yang dibingkai oleh kacamataku.


Melissa Tuanakotta