Pengintip

Senin, 25 Maret 2013

Positif !

"Gue inget kata-kata lu Mel, waktu lu tinggal di desa pasti bawaannya positif melulu," kata salah seorang teman ketika kita menghabiskan waktu dengan ngobrol sampai pagi. Pikiran jadi terbang melayang-layang ke memori satu tahun yang lalu.

"Siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini?" Hening tanpa jawaban, aku pun menghela nafas lalu tersenyum memandang murid-muridku itu dan melanjutkan pelajaran.

"Mungkin kita bisa mengembangkan sekolah ini jauh lebih baik apabila kita berusaha sepenuh hati!" Dijawab dengan sebuah anggukan basa-basi lalu memalingkan kepala dan mencari obrolan lain. Aku kembali tersenyum dan menghela nafas, lalu berfikir mungkin kata-kata yang kupilih belum bisa meyakinkan rekan-rekan guru.

"Saya akan mulai membersihkan perpustakaan. Bapak atau ibu jika ingin melihat dan merancang perpus bisa ikut dengan saya." Hingga 4 jam kemudian perpustakaan sudah bersih, tidak ada satu batang hidung pun yang muncul. Aku mengunci pintu perpustakaan, tersenyum dan kembali menghela nafas lalu berkata kepada diri sendiri yang penting anak-anak bisa baca buku di tempat ini.

Sebenarnya tenggorokan ini tercekat, mata terasa panas ingin sekali menangis. Tapi ketika itu ceritanya bukan tentang diri aku sendiri tapi untuk orang lain.

"Kita harus sabar, di sini kita harus berlapang dada walaupun diinjak-injak oleh orang lain," begitu kata salah satu teman.

Pertamanya aku tidak bisa menerima hal itu, tapi lama kelamaan keangkuhan ini terkikis. Aku bukanlah siapa-siapa, ketika berhadapan dengan dunia yang berada di luar zona nyaman. Keegoisan dibuang jauh-jauh. Tapi rasa nasionalis, kepemimpinan, tulus, ikhlas, lapang dada, pengertian disemai hingga mengakar dalam hati. Kaki melangkah keluar rumah pun menjadi sesuatu yang berharga. Dalam waktu 1 tahun menjadi sekolah kehidupan yang sangatlah berharga, walaupun tidak mendapat gelar apapun.

Tidak terasa waktu berlalu, hari berganti, kembalilah aku di sini, JAKARTA!

Jika ada pilihan lain, mungkin aku memilih untuk tidak berada di sini. Kota besar yang sepertinya tidak punya hati. Maaf, tapi ini yang ada di dalam hati. Semua orang terburu-buru mementingkan diri sendiri, berdesakkan, saling dorong, sikut, istilahnya "YANG PENTING GUE NYAMAN, ELO YA ITU SIH PROBLEM LO!"

Tidak ada lagi senyuman, tarikan nafas, lalu hembusan aura positif. Tegang, keras, sesak, padat, persaingan, dan memuakkan. Tidak tahu yang mana teman yang mana lawan. Seolah-olah ketika kita menerapkan nilai-nilai "kemanusiaan" justru menjadi korban. Sistem yang lambat laun merubah pribadi menjadi seorang robot yang menjemukkan dan kapitalis. Ketika berbuat sesuatu yang positif, malah ditimpali hal-hal yang negatif. Justru yang negatif lah mendapat nilai lebih!

Bahkan tidak jarang, anggukan kepala dan senyuman yang kita berikan dibalas dengan tatapan sinis dan buang muka. Rasanya hati ini lebih teriris, toh anggukan dan senyuman bukanlah barang mahal bukan?

Saat ini aku resah, aku resah akan kehilangan nilai-nilai yang aku dapatkan tempo hari. Aku ingin segala sesuatu yang positif itu kembali. Bahkan aku jadi bingung sendiri bagaimana mengembalikan itu semua? Aku seperti terhanyut dalam alur kota besar ini.

"Carilah kegiatan positif di akhir pekan, bertemu dengan orang-orang yang memiliki jalan pikiran yang sama untuk berbagi cerita. Jangan sampai nilai-nilai yang kamu tanam hilang begitu saja," kata seorang yang pernah menjadi fasilitatorku waktu itu. Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah ruang tunggu. Pembicaraan singkat yang membuatku yakin, aku masih bisa mempertahankan nilai-nilai positif yang aku dapat dengan cara yang berbeda. Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin, hanya saja merasa resah.

Mungkin semua bisa dimulai kembali setelah aku selesai menulis tulisan ini, hingga tidak hanya menjadi sebuah wacana belaka. Positif :)