Pengintip

Senin, 26 Januari 2015

Menyerah pada langit malam.


Ditengah keramaian lampu kota, menjulang tinggi sebuah menara. Seolah-olah ia mencoba menggapai langit malam dan memberikan secercah cahaya di sana. Tapi sebagaimanapun sang menara mencoba, langit tetaplah hitam, kelam. Kesunyian malam seolah tidak menggubris apa yang sedang terjadi.

Akhir-akhir ini aku merasa seperti menara itu. Sendirian menjulang tinggi disekitar keramaian. Tidak ada yang menemaniku di atas sini. Semua melihatku, tapi ya berlalu begitu saja.

Mungkin mereka datang untuk melihat apa yang ingin mereka lihat dari puncak menara. Tapi ketika sudah berhasil, mereka turun kembali dari menara. Lupa dengan apa yang sudah terjadi.
                                                   
Biarlah, mungkin kesunyian ini suratan takdir yang memang harus aku lewati. Biarlah aku tertawa bersama dunia, jangan sampai dunia bersedih bersamaku.

Lelah aku melihat ke sekitar. Hingga aku mencoba untuk melihat langit malam. Aku melihat ke segala penjuru. Penuh dengan misteri malam. Mungkin ada baiknya aku berkawan dengannya.

Malam menyambutku dengan baik, dengan kesunyian, dan dengan kegelapan. Aku tidak peduli dengan semua itu. Dengan cahaya yang menjadi bagian dari tubuhku, aku optimis untuk menerangkan langit malam.

Aku mencoba dengan berbagai cara agar malam bisa menjadi terang. Aku pun tak malu untuk minta bantuan dari sang rembulan. Akhirnya aku melihatnya. Aku melihat gradasi warna di ufuk sana. Aku bahagia. Tapi ternyata itu hanya sementara.

Langit malam tetaplah langit malam. Setinggi apapun aku menjulang ditemani oleh lampu-lampu yang temaram, langit malam ya tetap langit malam tidak bisa berubah. Walau sudah berbagai upaya dilakukan, langit malam begitu angkuh untuk menerima cahaya yang kuberikan, cahaya yang kubawa, dan cahaya yang kuperjuangkan. Bahkan ia tidak peduli dengan rembulan. Langit malam tetap kelam, dan menyimpan berbagai misteri.                           

Aku sudah berada pada titik lelah. Terserah. Mungkin sudah begini keadaannya. Aku sudah tidak mau mencoba lagi. Biarlah langit malam tetap seperti itu keadaannya. Mungkin aku yang harus menyerah. Pasrah.

Mungkin aku lebih baik menunggu langit cerah di pagi hari. Tak perlulah aku terlalu berusaha untuk menerangkan kegelapan, menjulang tinggi untuk menguak misteri kegelapan. Aku hanya perlu menyesuaikan diri, berbaur dengan cahaya mentari. Suatu waktu, langit malam pun akan berganti dengan pagi. Jauh dari kesunyian dibaluti oleh keramaian, membawa senyum kebahagiaan.