Pengintip

Kamis, 29 Juni 2017

Hilangnya Makna Idul Fitri



Empat hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Juni 2017, Idul Fitri. Tapi bagiku hari raya ini telah hilang maknanya. Bagiku hari raya tersebut seperti hanya merayakan bebasnya aku dari belenggu bulan puasa. Aku berhasil menahan nafsu dan lapar selama satu bulan, kemudian aku merayakan kemenanganku di hari Idul Fitri ini dengan makan besar.

Banyak hal yang mempengaruhinya. Dimulai dari status teman-teman yang menolak ucapan "Selamat Idul Fitri" yang dikirimkan kepadanya. Menurut mereka ucapan ini hanyalah membuat berisik telepon genggamnya saja. Bahkan mereka dengan lantang mengucapkan tidak menerima ucapan berupa gambar, karena menurut mereka itu hanyalah membuang-buang kuota saja. Kok, sampai hati yah mereka berpikir seperti itu, menurutku sangatlah sombong. Apakah niat baik memang benar-benar sudah tidak dilihat lagi. Aku cukup terpengaruh oleh ucapan negatif ini sehingga, ketika hari raya tiba aku hanya mengucapkannya di media sosialku saja. Tidak lagi niat membuat ucapan dengan indah, cukup mengucapkan begitu saja.

Hal lainnya adalah silaturahmi. Aku merasa dijauhkan oleh silaturahmi. Orang-orang sekarang sudah mulai pada apatis. Tidak peduli dengan silaturahmi. Aku jadi berpikir, untuk apa aku lelah-lelah mengajak orang lain bersilaturahmi sementara mereka tidak melulu mengindahkan. Bahkan ada suatu kejadian, saat buka bersama di bulan puasa, temanku adu argumen dengan temanku yang lainnya hanya karena berbeda pendapat saat menentukan lokasi untuk berbuka puasa. Aku enggak paham lagi dengan ini. Niat silaturahmi berantakan hanya karena beda pendapat.

Hal lainnya tentang silaturahmi adalah, saat aku perjalanan pulang menuju Bandung dari Jakarta, salah seorang sepupuku bertanya hari apa aku akan pergi ke Cirebon. Ya, ternyata tahun ini keluargaku akan berlebaran di Cirebon. Aku tidak tahu sama sekali akan rencana ini. Begitu tiba di rumah, aku bertanya kepada ibuku tentang hal ini, dengan enteng dia menjawab "enggak, ah, mamah males. Lagian enggak ada yang nyupirin." Jadi aku tidak tahu apa-apa karena mamahku tidak ingin pergi. Aku udah gak paham lagi. Kenapa aku harus ikut-ikutan tidak silaturahmi? Konyol rasanya ketika hari raya, aku tidak bertemu dengan keluarga besarku dan hanya mendekam di rumah sambil bermalas-malasan.

Yang terakhir adalah aku merasa tidak kembali ke fitri. Hati ini seperti menyimpan amarah yang terpendam kepada seseorang. Aku sangat marah kepada seseorang, tapi orang itu tidak pernah menyadari kesalahannya, bahkan dia mengucap mohon maaf lahir batin di hari raya ini pun tidak. Bahkan dia ini mencampur aduk emosiku saat bulan puasa, merusak momen aja kerjaannya.

Aku selalu ingat kata-kata dari Quraish Shihab dalam salah satu kultumnya Quraish Shihab menjelaskan tentang makna Idul Fitri. Secara garis besar beliau mengucapkan bahwa Idul Fitri adalah kembali ke fitrah kesucian kita. Kita bagai seorang anak yang baru keluar dari rahim seorang ibu dengan keadaan suci tanpa dosa tanpa noda. Sehingga Idul Fitri ini menjadi sebuah momentum yang cukup baik untuk saling maaf memaafkan. Ketika sudah terucap "mohon maaf lahir batin", benar-benarlah kita memaafkan. Mengubur kesalahan yang pernah diperbuat dan tidak mengungkitnya kembali di kemudian hari. Sehingga diri kita benar-benar kembali ke fitri.

Jika hati ini belum memaafkan apa bisa kembali ke fitri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar