Pengintip

Rabu, 23 September 2020

Berarti

Salah satu hal yang cukup aku pelajari dari pengalaman hidupku adalah jangan pernah menaruh rasa, harapan, dan ekspektasi kepada orang lain. Hal ketika aku mulai bergantung kepada diriku sendiri, aku selalu merasa hidup kembali. Aku suka rasa itu.

Yang paling aku anggap berarti di dalam hidup ini adalah diriku sendiri. Bukan karena aku egois atau narsis, hanya saja memang hanya dirikulah yang tahu apa yang aku mau. Hanya dirikulah yang mampu merangkul emosiku. Hanya dirikulah yang bisa membawa diriku kembali bangkit dari segala keterpurukan.

Bukankah kita butuh orang lain?

Ya, itu betul. Kita adalah makhluk sosial, tanpa orang lain maka kita tidak akan bisa hidup. Aku tetap butuh keberadaan mereka hanya untuk melengkapi saja, jika memang butuh.

Kenapa aku seperti ini?

Aku tidak mau lagi kecewa. Itu saja. Kecewa membuat hati aku ini terluka. Aku pernah menganggap orang lain begitu berarti, tapi seringnya mereka tidak menganggap hal yang sama. Bahkan tidak jarang dari mereka yang hanya numpang cari celah saja. Rasa sakit itu masih terasa hingga hari ini, tapi apa mereka peduli? Tentu tidak. Namanya juga manusia.

Kenapa aku menulis hal yang menyedihkan hari ini?

Tidak dipungkiri, dalam kesendirian ini, sepi adalah yang paling terasa. Ada sisi ingin peduli, namun untuk apa? Rasa kepedulianku ini sebenarnya tidak bermakna. Seharusnya aku tutup mata dan tutup telinga saja.

:'(

Aku hanya perlu menyiapkan jiwa dan raga untuk tetap berdiri sendiri. Menghargai diriku sendiri. Memeluk diriku sendiri.

Memang benar adanya, dunia akan tertawa bersama ketika kita bahagia, tapi dunia tidak akan ikut menangis ketika kita merasa sedih.

Me love you Melissa.

Be always strong!



Sabtu, 15 Juli 2017

Semesta

Aku jatuh cinta kepada Semesta.
Karena ia tidak pernah membuatku kecewa.
Ketika aku merasa kelabu, kerap ia memberikan aku jingga.
Ketika aku merasa sendu, kerap ia memberikan aku cinta.
Ketika aku merasa layu, kerap ia memberikan aku keindahannya.
Ketika aku mencarinya, ia selalu ada.


Kamis, 29 Juni 2017

Hilangnya Makna Idul Fitri



Empat hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 25 Juni 2017, Idul Fitri. Tapi bagiku hari raya ini telah hilang maknanya. Bagiku hari raya tersebut seperti hanya merayakan bebasnya aku dari belenggu bulan puasa. Aku berhasil menahan nafsu dan lapar selama satu bulan, kemudian aku merayakan kemenanganku di hari Idul Fitri ini dengan makan besar.

Banyak hal yang mempengaruhinya. Dimulai dari status teman-teman yang menolak ucapan "Selamat Idul Fitri" yang dikirimkan kepadanya. Menurut mereka ucapan ini hanyalah membuat berisik telepon genggamnya saja. Bahkan mereka dengan lantang mengucapkan tidak menerima ucapan berupa gambar, karena menurut mereka itu hanyalah membuang-buang kuota saja. Kok, sampai hati yah mereka berpikir seperti itu, menurutku sangatlah sombong. Apakah niat baik memang benar-benar sudah tidak dilihat lagi. Aku cukup terpengaruh oleh ucapan negatif ini sehingga, ketika hari raya tiba aku hanya mengucapkannya di media sosialku saja. Tidak lagi niat membuat ucapan dengan indah, cukup mengucapkan begitu saja.

Hal lainnya adalah silaturahmi. Aku merasa dijauhkan oleh silaturahmi. Orang-orang sekarang sudah mulai pada apatis. Tidak peduli dengan silaturahmi. Aku jadi berpikir, untuk apa aku lelah-lelah mengajak orang lain bersilaturahmi sementara mereka tidak melulu mengindahkan. Bahkan ada suatu kejadian, saat buka bersama di bulan puasa, temanku adu argumen dengan temanku yang lainnya hanya karena berbeda pendapat saat menentukan lokasi untuk berbuka puasa. Aku enggak paham lagi dengan ini. Niat silaturahmi berantakan hanya karena beda pendapat.

Hal lainnya tentang silaturahmi adalah, saat aku perjalanan pulang menuju Bandung dari Jakarta, salah seorang sepupuku bertanya hari apa aku akan pergi ke Cirebon. Ya, ternyata tahun ini keluargaku akan berlebaran di Cirebon. Aku tidak tahu sama sekali akan rencana ini. Begitu tiba di rumah, aku bertanya kepada ibuku tentang hal ini, dengan enteng dia menjawab "enggak, ah, mamah males. Lagian enggak ada yang nyupirin." Jadi aku tidak tahu apa-apa karena mamahku tidak ingin pergi. Aku udah gak paham lagi. Kenapa aku harus ikut-ikutan tidak silaturahmi? Konyol rasanya ketika hari raya, aku tidak bertemu dengan keluarga besarku dan hanya mendekam di rumah sambil bermalas-malasan.

Yang terakhir adalah aku merasa tidak kembali ke fitri. Hati ini seperti menyimpan amarah yang terpendam kepada seseorang. Aku sangat marah kepada seseorang, tapi orang itu tidak pernah menyadari kesalahannya, bahkan dia mengucap mohon maaf lahir batin di hari raya ini pun tidak. Bahkan dia ini mencampur aduk emosiku saat bulan puasa, merusak momen aja kerjaannya.

Aku selalu ingat kata-kata dari Quraish Shihab dalam salah satu kultumnya Quraish Shihab menjelaskan tentang makna Idul Fitri. Secara garis besar beliau mengucapkan bahwa Idul Fitri adalah kembali ke fitrah kesucian kita. Kita bagai seorang anak yang baru keluar dari rahim seorang ibu dengan keadaan suci tanpa dosa tanpa noda. Sehingga Idul Fitri ini menjadi sebuah momentum yang cukup baik untuk saling maaf memaafkan. Ketika sudah terucap "mohon maaf lahir batin", benar-benarlah kita memaafkan. Mengubur kesalahan yang pernah diperbuat dan tidak mengungkitnya kembali di kemudian hari. Sehingga diri kita benar-benar kembali ke fitri.

Jika hati ini belum memaafkan apa bisa kembali ke fitri?

Senin, 12 Desember 2016

12.12.16 -the end-

Jika hari ini tidak ada arti
Maka untuk apalagi menyimpan hati
Cukup kita akhiri sampai disini
Jangan harap setitik rasa dari hati
Semua sudah mati.

Senin, 17 Oktober 2016

Akhirnya...

Akhirnya sebuah cincin melingkar di jari manis.

Setelah sekian lama akhirnya jari manis ini dihiasi oleh sesuatu.

Seorang lelaki datang memantapkan diri bahwa dirinya siap untuk menjadi imam, menjadi seorang panutan, teman, sahabat, partner, dan penggiringku hingga akhir waktu.

Senang bukan kepalang. Akhirnya. Semua orang pun mengucapkannya “akhirnya”.

Kami setuju untuk segera mengucap janji suci. Di sebuah taman di salah satu dataran tinggi, di daerah Bandung, yang berlatarkan Gunung Manglayang. Tidak terlalu mewah memang seperti pesta pernikahan kebanyakan orang yang harus rela menyisakan angka 0 di rekening tabungannya. Kami hanya menginginkan pesta sederhana, yang dimeriahkan oleh alunan lagu keroncong bersyair kekinian.

Aku memilih gaun sederhana berwarna putih, sedangkan dia memilih untuk memakai pakaian yang casual tapi sedap untuk dipandang. Tak masalah menurutku, karena pernikahan bukan masalah pakaian mewah ala Cinderella dan si pangeran. Mungkin itu impian masa kecilku, karena kalo dipikir-pikir lagi, repotlah, hareudang mun ceuk orang sunda mah hahaha…

Bahagia? Pasti.

Hal yang paling dinanti-nanti oleh seorang wanita berusia 30 tahun dan masih melanjang.

Tapi jangan sedih kak, kebahagiaan ini sirna sekejap ketika pemandangan taman indah pun berubah dengan cepat dengan pemandangan kamar berukuran 3 x 4 yang terlihat cukup berantakan.
Ternyata, hanya mimpi hahahaha

Welcome Monday!

-yang semustinya diposting tadi pagi-

Jumat, 20 Mei 2016

Pendaki Gendut? Siapa Takut!




Biasanya setelah pulang dari pendakian suatu gunung, langsung unggah foto-foto di media sosial. Akibat dari pengunggahan ini suka ada pesan-pesan yang dikirim secara personal kepada aku. Ada yang bilang “Wah, mba hebat juga gemuk-gemuk bisa naik gunung.” (Ya, bisa lah, naik angkot juga bisa.) Ada juga yang bilang “Nyampe puncak tuh mba?” (Padahal fotonya jelas-jelas lagi di puncak. Masnyah maunyah apah, sih?) Ada juga yang tanya dan konsultasi gimana caranya gendut-gendut bisa sampe ke puncak (Ya, didaki lah masa gelinding). 

Seperti hari ini, yang terbaru, dan ter-fresh from the oven, ada yang kirim pesan di akun instagram aku.

Aku sampai ngikik-ngikik sendiri, ko tiba-tiba jadi kayak konsultan pendakian untuk para pendaki gendut. Da aku mah apa atuh, aku sendiri ngos-ngosan sampai gempor kaliiii kalo naik gunung. Jangan dipikir bisa bergerak lincah seperti kancil. Hahahaha.

Tapi kejadian itulah yang membuat aku terinspirasi membuat tulisan ini (meumpeung belom ada inspirasi untuk nulis tesis). Orang berbadan gendut sering kali dipandang sebelah mata, sering dianggap tidak mampu melakukan aktivitas fisik, dan sering kali dianggap sebagai beruang sirkus yang lucu. Sehingga kadang banyak orang gendut yang pada akhirnya minder untuk beraktivitas fisik, dan lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang sekiranya tidak akan mendapat nyinyiran dari pemirsa. So, sad!

Aku sebagai orang gendut ingin mematahkan opini publik yang seperti itu. Aku aktif berolah raga, dari SMA. Biarin aja kalo larinya lambat juga, kan yang penting lari. Biar aja kalo lemaknya goyang semua namanya juga gendut. Biar aja kalo dibiilang cepet cape, namanya juga olahraga mana ada yang enggak cape. Aku ikut cabang olahraga hoki, suka diejekin, bahkan ditaro jadi kiper. Aku sih terima-terima aja. Asik tau, cuma diem di gawang. HAHAHA. Tapi siapa sangka begitu aku kuliah jadi atlet sampe Pra PON.

Setelah tidak aktif di hoki, aku mulai suka jalan-jalan. Aku suka backpackeran ala-ala, modal dikit tapi keliling ke mana-mana. Tadinya hanya ke kota-kota besar aja jadi turis, tapi lama-kelamaan jadi penikmat wisata alam. Kategori “gunung” yang paling pertama aku datengin itu Gunung Bromo, sekitar tahun  2009. Dari perjalanan itu jadi suka banget naik gunung.

Dulu tenaganya masih tenaga atlet, jadi enggak ada masalah. Sekarang tenaganya tenaga perut gendut, jadi perlu banyak banget persiapan. Pernah sekali waktu pergi ke Gunung Pangrango, kalau tidak salah tahun 2013. Berasa badan kuat-kuat aja pergi (merasa masih jadi atlet) di tengah  jalan memble banget!!! Bahkan sebelum sampai Kandang Badak, udah gak kuat jalan. Harus ditarik dan di dorong sama teman, bahkan ranselnya dibawain. Hadeuuuuh... kacau. Gara-gara kejadian ini aku jadi melakukan berbagai persiapan setiap mau naik gunung.

Apa saja persiapannya untuk para pendaki gendut? Ini dia:

1. Kurangi berat badan

Setidaknya kita tidak dalam keadaan gendut-gendut banget saat akan melakukan pendakian. Kita yang tahu bagaimana kondisi tubuh kita, berat banget atau berat ajah.  Aku biasanya 3 bulan sebelum berangkat udah mulai mengontrol asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu juga disiplin untuk memilih makanan yang sehat dan mengonsumsi buah-buahan. Untuk pendakian menuju Semeru, aku diet ketat sampai turun berat badan hingga 9 kilo. Enggak keliatan, sih (sedih). Tapi aku merasa tubuh aku menjadi lebih ringan.

2. Olahraga

Yang namanya naik gunung itu capek, pake banget. Kita mendaki bukan cuma jalan jauh. Sehingga butuh banget fisik yang kuat. Jangan pernah beranggapan kondisi fisik kita akan sama dengan teman yang badannya kurus dan bakal menyeimbangi mereka ketika berjalan. Kita sebagai pendaki gendut akan jalan lebih lambat dari teman-teman yang lain. Jangan kecil hati, biar lambat kita harus mampu jalan terus. Tetap berjalan dengan langkah yang konstan, dan mengatur napas. Untuk bisa seperti ini kita harus punya bekal dengan olahraga sebelum berangkat.

Menu olahraga aku lumayan berat ketika akan mendaki gunung. Karena aku selalu menetapkan targetku untuk sampai puncak, maka harus banget fisiknya kuat. Seminggu aku lari 3 kali dan setiap lari harus mencapai jarak 5 kilometer dengan waktu yang konstan (biasanya akan butuh waktu 50-55 menit). Aku gak mampu lari lebih cepat dari itu, maklum badannya berat hehehe. Ketika lari aku mengatur ritme pernapasan. Dua langkah aku menghirup napas, dan dua langkah kemudian buang napas. Napas aku usahakan dari hidung, karena kalau menggunakan mulut akan membuat mulut kering. Tapi jika badan sudah dalam keadaan lelah aku mulai menggunakan pernapasan lewat hidung dan mulut. Tarik napas lewat hidung dan dibuang dari mulut.

Dalam satu minggu, aku juga masih menyempatkan diri untuk zumba dan berenang. Pokoknya gerak terooooos jangan sampe kendor.

3. Makan Enak

Sehari sebelum berangkat aku makan enak dulu di restoran mahal, hadiah buat si tubuh gendut yang udah digenjot terus buat olah raga. Lagian kan besok juga bakal olahraga lagi di gunung HAHAHA.

Selain persiapan ada beberapa tips untuk pendaki gendut yang insyaalloh kepake:


  1. 1. Bawa ransel jangan yang terlalu besar, bawa yang ukuran sedang (35-50 liter). Isi dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Kalau gak butuh-butuh banget mendingan gak usah dibawa. Semakin ringan tas akan semakin memudahkan kita untuk berjalan.
  2. Janjian dengan seorang teman untuk “Jangan tinggalin aku, yah. Kamu tega aku jalan sendirian?” hahaha *drama*. Kita pasti akan berjalan lebih lambat dari teman-teman yang lain, sehingga gunakan teknik buddy system. Lagian di gunung jangan jalan sendirian juga, minimal berdua.
  3. Jangan istirahat terlalu lama, semakin lama tubuh akan semakin dingin. Ketika sudah dingin biasanya malas bergerak inginnya selimutan terus bobo. Aku biasanya pake jurus 5! Setiap kali merasa lelah, diam sebentar lalu tarik nafas 5 kali terus lanjut jalan. Atau jurus 20 langkah. Sebisa mungkin terus melangkah sebanyak 20 kali, kalau udah dapet 20 langkah baru boleh tarik napas 5-10 kali. Aku pribadi jarang istirahat sambil duduk, biasanya tetap berdiri sambil mengatur napas. Duduk kalau udah cape pake banget. Jangan lupa lepas ransel ya, kasih kendor dikit lah buat badan.
  4. Mengatur napas seperti saat olahraga lari. Anggep aja kita lagi lari. Kalau lari aja bisa, pasti naik gunung juga bisa.
  5. Ngantongin makanan. Perut gendut pastinya cepet laper. Kalau udah laper biasanya aku mulai males gerak. Aku taro beberapa snack batangan atau coklat di kantong baju. Biar kalo laper bisa ganyem sambil jalan gak perlu berhenti untuk bongkar-bongkar tas. Hemat tenaga.
  6. Bawa trekking pole, lumayan bisa menopang badan dan menjadi penyangga ketika lelah.
  7. Niat yang kuat. Semakin niat, semakin kuat, semakin mendekati puncak. Jangan pantang menyerah. Gengsi sama temen juga boleh. Gengsi ini cukup membantu aku, lo! HAHAHAHA.
  8. Yang paling penting sesuaikan dengan keadaan fisik dan kekuatan tubuh. Yang tahu badan kita cuma kita sendiri, bukan orang lain. Ketika memang sudah merasa tidak mampu, jangan dipaksakan. Berarti titik kita berhenti itulah puncak kita. Toh puncak gunung gak pindah-pindah, masih ada lain waktu untuk bisa ke sana. Contohnya, nih, aku naik Semeru itu udah 3 kali. Tapi baru pendakian yang ke-3 aku bisa sampai puncak. Yang penting tetap semangat :)

Oke semuanya, semoga berhasil!

Salam,
Melissa, si pendaki gendut.

Minggu, 24 April 2016

This is it, Merbabu!

Menjelang akhir tahun 2015, seorang teman bertanya "mau ke mana?"
Aku pun menjawab, "ke tempat di mana aku bisa melihat senja terakhir di tahun ini, dan sinar matahari pertama di tahun 2016."
Dia pun memberikan pertanyaan tambahan. "pantai atau gunung?"
Dengan lantang aku menjawab, "gunung! Aku rindu ketinggian"
Maka terpilihlah si cantik Merbabu.

Dari beberapa pendakian yang pernah aku lakukan, aku merasa pendakian kali ini yang paling indah. Walau sempat terguyur hujan deras, tapi aku selalu disuguhi pemandangan indah sepanjang perjalanan. Belum lagi dengan gagahnya Merapi menatap perjalanan kami dari kejauhan, seolah memberi semangat untuk terus melangkah.

Senja terakhir di tahun 2015 menyambut kami di pos 3 kala itu. Sungguh indah, sangat indah. Berulang kali aku memuji keindahan ini. Tidak terbayar oleh apapun. Semua terekam dengan sempurna dalam ingatan ini. Seolah temaram senja tidak cukup, bias cahaya yang membentuk warna pelangi pun turut menghiasi langit sore kala itu.

***
Detik-detik pergantian tahun segera tiba, aku terbangun oleh teriakan pendaki lain yang sedang menghitung mundur. Aku segera membangunkan temanku, jangan sampai momen seperti ini terlewatkan. Ketika aku membuka tenda, Pos 3 Merbabu cukup ramai di tengah kelamnya malam saat itu. Semua pendaki bercengkrama, siap untuk melakukan selebrasi pergantian tahun. Tepat pukul 12 semua berteriak riuh. Para pendaki yang membawa terompet pun meniupkannya kencang-kencang. Aku pun turut berteriak penuh semangat. 
Ketika aku membalikan tubuhku untuk menatap Merapi, aku pun ternganga.
Merapi malam itu berdiri dengan sangat gagah membelah langit malam. Sinar rembulan membuatnya tuan puncak tampak jelas. Letupan dari percikan cahaya kembang api pun ikut menghiasi kaki Merapi. Lagi-lagi pemandangan indah. Membuat aku tertidur sambil tersenyum di malam pergantian tahun.

***
Keindahan tidak berakhir malam itu. Aku terbangun tepat pukul setengah enam pagi. Aku segera bersiap untuk menyaksikan matahari pertama di tahun ini. Tidak seramai malam tadi, pagi ini suasana terasa syahdu. Warna kuning keemasan mulai membelah cakrawala di ufuk timur. Semua pendaki berdecak kagum. Sedikit demi sedikit Mentari pun menunjukkan bentuk bulat sempurna.
Halo, selamat datang 2016 :)