Pengintip

Senin, 24 Agustus 2015

Kisah 24 Agustus

Aku ingat hari itu 24 Agustus 2014. Sehari setelah dia pergi untuk mengikuti pendidikan Wanadri. Sementara aku sedang berada di Bangkok. Aku enggak bisa melepas kepergiannya karena penerbanganku bertepatan dengan kepergiannya.

Dini hari aku tak bisa tidur memikirkannya. Apakah semua perlengkapannya sudah siap? Apakah fisik dia kuat? Apakah dia akan bertahan? Apakah dia akan baik-baik saja? Begitu banyak pertanyaan. Aku begitu khawatir karena aku tidak ingon kehilangan dia. Satu-satunya yang berharga dalam hidupku.

Sebelum dia pergi kami hanya berbincang singkat via YM.

Hari-hari aku di Bangkok pun selalu dipenuhi pemikiran tentang dia. Entahlah, dia itu bagai candu. Aku selalu membawa foto kami berdua. Setiap tempat yang aku kunjungi selalu aku abadikan foto kami berdua. Seolah-olah kami sedang pergi bersama.

Jika ditanya seberapa besar cintaku kepadanya? Aku akan menjawab sebesar-besarnya benda yang ada di alam semesta. Seberapa sayangnya aku kepadanya? Aku akan menjawab tidak terhitung, karena aku sangat menyayangi dia lebih dari apapun.

Hari ini melihat foto2 tersebut membuat perasaanku terkoyak. Hatiku sakit, tenggorokanku tercekat. Ketika ternyata perasaanku itu tak terbalas. Semuanya percuma dan sia-sia. Karena aku ternyata tidak mendapatkan perasaan yang sama. Aku bukanlah yang teristimewa. Entahlah apa aku ini dianggapnya, mungkin hanya boneka
pelampiasan saja.
     
 Mungkin Tuhan menegurku atas perasaanku yang berlebihan ini. Mustinya semua perasaan itu aku tunjukkan kepada-Nya dan kepada ibuku. Lihatlah ketika semuanya berantakan, hanya ada Tuhan dan Ibu yang berdiri di sampingku, menguatkanku, menenangkanku, menyayangiku dan selalu ada di sampingku. Kemana orang itu? Entahlah aku tak tahu mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Apakah dia pedulu kepadaku? Tentu saja tidak. Apakah dia selalu mengatku seperti aku yang selalu mengingatnya? Mungkin tidak.

Tuhan adalah dzat pembolak balik hati.  Mungkin ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk tidak terlalu menuangkan perasaan kepada seseorang, untuk tidak terlalu percaya berlebihan kepada orang, dan memberikan segalanya kepada orang. Sifat manusia semuanya sama saat yang diinginkan tidak didapatkan dia akan pergi mencari jalan lain untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sabtu, 22 Agustus 2015

air dan api


Semuanya tersirat dalam lagu Naif. Mengapa kita bagai air dan api. Apa mauku apa maumu bagai masalah yang tak kunjung henti. Bukan maksudku bukan maksudmu untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja.

Kenapa hal yang begitu manis bisa menjadi pahit? Kenapa semuanya gak berjalan mulus?
Kenapa kita gak bisa seiya sekata?
Apakah Tuhan sedang membolak balikan hati?

Lihatlah Tuhan, betapa kami saling menyayangi ketika itu. Dan lihatlah apa yang terjadi saat ini. Hanya ada rasa saling benci.


Kamis, 20 Agustus 2015

Sebuah Akhir


Akhirnya dibuatlah sebuah keputusan. Berat rasanya tapi mungkin yang terbaik.

Beberapa tahun lalu aku mengenal seorang lelaki bernama Teguh Waspada. Orangnya baik dan lucu. Dia selalu melakukan hal-hal aneh yang bisa membuatku gemas dan tertawa terbahak-bahak. Kami pun memutuskan untuk menjalin suatu hubungan.Dari awal aku tahu bahwa kami ini berbeda bagai bumi dan langit. Tapi saat itu aku yakin waktu terus berjalan dan itu semua bisa berubah.

Hubungan kami bukanlah hubungan yang indah layaknya hubungan yang dijalin oleh orang kebanyakan. Mendapatkan apa yang didapatkan oleh perempuan lain hanya menjadi bayang-bayang semu di dalam benakku. Tidak masalah bagiku untuk tidak makan di restoran mahal, tidak masalahlah bagiku aku tidak mendapatkan hadiah di hari ulang tahunku. Tidak masalah, karena aku mendapatkan kasih sayang.

Aku dan dia pun membuat cara bagaimana menjalin hubungan yang sulit ini menjadi manis. Kami melakukan berbagai macam perjalanan. Entah itu perjalanan hingga ujung pulau, puncak-puncak tertinggi di pegunungan, bahkan berputar2 di dalam kota. Menyenangkan ketika menghabiskan waktu bersamanya.

Lambat laun aku mulai merasakan cinta itu bukan segalanya. Ada hal-hal lain yang diperlukan selain cinta untuk membina suatu hubungan. Apalagi ketika ingin menuju jenjang yang lebih serius.

Dalam hati aku sangat yakin dia akan menjadi lelakiku. Lelaki yang akan menghabiskan waktu bersamaku hingga tua nanti. Tidak ada yang sebaik dia memperlakukanku, menyayangiku, memanjakanku, dan rela menyelamatkanku dari sebongkah batu besar yang siap menghantam punggunggu di Gunung Semeru. Siapa yang ingin melepas lelaki seperti ini? Aku yakin tidak ada.

Tapi lagi-lagi perasaan bahwa cinta itu tidak cukup untuk membina suatu hubungan. Banyak faktor lainnya yang harus mendukung cinta. Seperti materi, komunikasi, kepercayaan, tanggung jawab dan rasa saling memiliki. Ketika ada salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak diindahkan, maka kisah cinta Dylan dan Milea pun bisa kandas di tengah jalan.

Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya untuk berkomunikasi. Dulu ketika ada suatu masalah dia akan segera menyelesaikannya. Lama-lama dia hanya mendiamkan masalah. Seminggu, dua minggu, bahkan hingga berbulan-bulan. Dia hanya diam. Dalam pikirannya dia ingin membuat aku tenang. Mana ada sih orang yang bisa tenang menjalankan hidupnya ketika dia lagi ada masalah?

Bahkan sekali waktu dia pergi begitu saja. Meninggalkan semua yang sudah dirintis. Karena menurut dia dia tidak bisa bahagia. Sungguh egois, apakah dia berpikir selama ini aku bahagia menghadapi hubungan seperti ini? Saat perempuan lain mendapatkan banyak hal dari pasangannya, aku hanya bisa tarik nafas dalam-dalam dan pura-pura tidak melihat dan mendengar.

Aku cuma berharap dan berharap, karena aku tahu memaksakan apa yang aku inginkan kepadanya itu sangatlah sulit. Tidak bisa, karena di luar kemampuannya. Sehingga aku hanya bisa marah. Dengan harapan dia akan terpacu untuk melakukan sesuatu untukku. Tapi tidak ada yang terjadi. Amarahku hanya didiamkan begitu saja.

Entahlah sengaja atau tidak, tapi dia selalu membuatku marah. Padahal dia tahu hal-hal yNg tidak aku suka. Tapi kenapa dia selalu saja melakukannya. Padahal itu semua hal-hal kecil seperti cepat membalas ketika berkabar, mengangkat telepon, datang tepat waktu, dan menepati janji. Menurutku janji itu adalah sesuatu yang sakral. Ketika janji hanya untuk diingkari. Maka sudahlah tidak ada makna sebuah janji di dunia ini.

Ada lagi hal aneh. Dia punya satu teman laki-laki yang posesifnya minta ampun. Menurutku dia mengganggu. Dari laki-laki inilah si pacarku itu mendapatkan barang yang tidak semustinya dia pakai. Sehabis dia pacaran denganku, diam-diam dia pergi menemui si teman laki-lakinya ini. Bahkan sekali waktu dia pernah naik angkot untuk menemuinya di Depok. Jika si teman laki-lakinya ini menelepon dan tidak diangkat, dia akan langsung menelepon ibunya. Hubungan seperti apa ini? Hubungan persahabatan yang aneh untuk seorang laki-laki. Dia pun membela temannya itu habis-habisan di depanku. Padahal belum tentu dia membela aku di depan temannya itu. Pertengkaran terakhir kami adalah akibat pacarku itu menutup-nutupi pesan dari temannya itu di telepon selulernya. Jika terjadi sesuatu kepada temannya itu, dia langsung buru-buru mendatangi. Sementara ketika aku jatuh dari motor, rapuh akibat pertengkaran, sakit, apakah dia langsung mendatangiku? Tidak. Dengab berbagai alasan. Aneh bukan, hubungan aku dan pacarku rusak akibat tingkah seorang laki-laki?

Aku lelah untuk segala bentuk pertengkaran ini. Aku lelah dengan segala perbedaan pendapat ini. Dia dengan kehidupannya dan aku dengan kehidupanku. Tidak ada solusi yang dia berikan, dia hanya ingin mengejar mimpinya sendiri. Sepertinya dia belum bisa membagi hidupnya dengan orang lain.

Apakah sampai saat ini aku masih sayang kepadanya? Tentu saja. Apakah aku ingin menikah dengannya? Dengan segala yang telah kami lewati, tentu saja. Tapi apakah keinginanku ini yang terbaik? Apakah aku bahagia? Apakah aku siap menghadapi hidup dalam kecurigaan? Apakah aku siap menerimanya menjadi imam dan tunduk di bawah tangannya dengan pola pikir yang dia punya?

Entah sudah berapa banyak air mata ini mengalir. Entah sudah berapa kali hati ini digerogoti oleh kekecewaan.

Aku mau kamu Endon, tapi aku gak bisa seperti ini terus menerus. Kamu pun tidak memeperjuangkan aku secara maksimal. Kamu hanya dengan nafsumu. Kamu hanya membiarkan semuanya itu mengalir sampai pada akhirnya jatuh ke dalam muara dan mengalir kembali ke anak sungai selanjutnya. Tidak pernah berkomitmen untuk berhenti di satu titik untuk kita berdua.

Mungkin inilah yang disebut dengan manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan segalanya. Sampai saat ini pun aku masih berharap semua baik-baik saja. Tapi, itu hanya harapanku saja. Mungkin di sinilah saatnya sebuah akhir cerita. Mungkin. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan selanjutnya.

Selasa, 18 Agustus 2015

Sabtu, 15 Agustus 2015

Omong Kosong!

Apa-apa yang dipaksakan itu tidak akan pernah berjalan dengan baik.
Aku sudah berusaha untuk menjalankan suatu hubungan sesuai dengan keinginannya. Apakah berjalan baik? Tidak.
Salah satu pihak akan merasa merasa diatas awan.
Apa yang aku dapatkan? Tidak ada sama sekali. Hanya sebuah kekecewaan.
Diperlakukan bagai barang. Dipakai jika perlu. Didiamkan jika tak perlu.
Bukan seperti ini yang aku inginkan Tuhan.
Aku ingin kebahagiaan. Bukan menjalankan sesuatu di atas sebuah kesedihan.
Bukan seperti ini.
Aku sudah berada dalam satu titik jenuh. Sangat jenuh.
Ketika aku hanya dituntut untuk berubah, tapi sang lawan tidak berubah. Hanya menikmati kehidupannya sendiri. Apa aku harus terhanyut dalam alur kehidupan yang seperti ini? Tidak.
Apa yang sudah aku lakukan, aku keluarkan, aku habiskan, tidak ada artinya.
Hanya untuk memuaskan saja.
Lupakan Melissa. Kamu tercipta bukan untuk diperlakukan seperti sampah.
“Kebaikan itu semu. Orang baik tidak akan memperlakukanmu seperti ini semua.
Masa depanmu masih panjang. Kamu pasti bisa menemukan yang lebih baik lagi.
Hanya perlu keyakinan.
Jika kamu dianggap berharga, kamu pasti akan diperlakukan istimewa.
Strong Melissa. Kamu itu wanita yang kuat. Pasti Tuhan akan memberikanmu yang terbaik.”
Aku akan coba untuk membekukan ini semua. Aku akan diam jika memang diam dan menghilang memang jalan yang terbaik.
Mungkin aku hanya terlibat dalam sebuah omong kosong!

Cepat atau lambat omong kosong ini akan berlalu dimakan waktu.
Kita cuma cukup menikmati detik-detik yang berlalu.
Sendiri akan lebih baik, jika berdua hanya membawa suatu kesedihan.
Jika memang sudah suratan, cinta akan datang tanpa perlu dipaksakan.