Pengintip

Kamis, 20 Agustus 2015

Sebuah Akhir


Akhirnya dibuatlah sebuah keputusan. Berat rasanya tapi mungkin yang terbaik.

Beberapa tahun lalu aku mengenal seorang lelaki bernama Teguh Waspada. Orangnya baik dan lucu. Dia selalu melakukan hal-hal aneh yang bisa membuatku gemas dan tertawa terbahak-bahak. Kami pun memutuskan untuk menjalin suatu hubungan.Dari awal aku tahu bahwa kami ini berbeda bagai bumi dan langit. Tapi saat itu aku yakin waktu terus berjalan dan itu semua bisa berubah.

Hubungan kami bukanlah hubungan yang indah layaknya hubungan yang dijalin oleh orang kebanyakan. Mendapatkan apa yang didapatkan oleh perempuan lain hanya menjadi bayang-bayang semu di dalam benakku. Tidak masalah bagiku untuk tidak makan di restoran mahal, tidak masalahlah bagiku aku tidak mendapatkan hadiah di hari ulang tahunku. Tidak masalah, karena aku mendapatkan kasih sayang.

Aku dan dia pun membuat cara bagaimana menjalin hubungan yang sulit ini menjadi manis. Kami melakukan berbagai macam perjalanan. Entah itu perjalanan hingga ujung pulau, puncak-puncak tertinggi di pegunungan, bahkan berputar2 di dalam kota. Menyenangkan ketika menghabiskan waktu bersamanya.

Lambat laun aku mulai merasakan cinta itu bukan segalanya. Ada hal-hal lain yang diperlukan selain cinta untuk membina suatu hubungan. Apalagi ketika ingin menuju jenjang yang lebih serius.

Dalam hati aku sangat yakin dia akan menjadi lelakiku. Lelaki yang akan menghabiskan waktu bersamaku hingga tua nanti. Tidak ada yang sebaik dia memperlakukanku, menyayangiku, memanjakanku, dan rela menyelamatkanku dari sebongkah batu besar yang siap menghantam punggunggu di Gunung Semeru. Siapa yang ingin melepas lelaki seperti ini? Aku yakin tidak ada.

Tapi lagi-lagi perasaan bahwa cinta itu tidak cukup untuk membina suatu hubungan. Banyak faktor lainnya yang harus mendukung cinta. Seperti materi, komunikasi, kepercayaan, tanggung jawab dan rasa saling memiliki. Ketika ada salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak diindahkan, maka kisah cinta Dylan dan Milea pun bisa kandas di tengah jalan.

Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya untuk berkomunikasi. Dulu ketika ada suatu masalah dia akan segera menyelesaikannya. Lama-lama dia hanya mendiamkan masalah. Seminggu, dua minggu, bahkan hingga berbulan-bulan. Dia hanya diam. Dalam pikirannya dia ingin membuat aku tenang. Mana ada sih orang yang bisa tenang menjalankan hidupnya ketika dia lagi ada masalah?

Bahkan sekali waktu dia pergi begitu saja. Meninggalkan semua yang sudah dirintis. Karena menurut dia dia tidak bisa bahagia. Sungguh egois, apakah dia berpikir selama ini aku bahagia menghadapi hubungan seperti ini? Saat perempuan lain mendapatkan banyak hal dari pasangannya, aku hanya bisa tarik nafas dalam-dalam dan pura-pura tidak melihat dan mendengar.

Aku cuma berharap dan berharap, karena aku tahu memaksakan apa yang aku inginkan kepadanya itu sangatlah sulit. Tidak bisa, karena di luar kemampuannya. Sehingga aku hanya bisa marah. Dengan harapan dia akan terpacu untuk melakukan sesuatu untukku. Tapi tidak ada yang terjadi. Amarahku hanya didiamkan begitu saja.

Entahlah sengaja atau tidak, tapi dia selalu membuatku marah. Padahal dia tahu hal-hal yNg tidak aku suka. Tapi kenapa dia selalu saja melakukannya. Padahal itu semua hal-hal kecil seperti cepat membalas ketika berkabar, mengangkat telepon, datang tepat waktu, dan menepati janji. Menurutku janji itu adalah sesuatu yang sakral. Ketika janji hanya untuk diingkari. Maka sudahlah tidak ada makna sebuah janji di dunia ini.

Ada lagi hal aneh. Dia punya satu teman laki-laki yang posesifnya minta ampun. Menurutku dia mengganggu. Dari laki-laki inilah si pacarku itu mendapatkan barang yang tidak semustinya dia pakai. Sehabis dia pacaran denganku, diam-diam dia pergi menemui si teman laki-lakinya ini. Bahkan sekali waktu dia pernah naik angkot untuk menemuinya di Depok. Jika si teman laki-lakinya ini menelepon dan tidak diangkat, dia akan langsung menelepon ibunya. Hubungan seperti apa ini? Hubungan persahabatan yang aneh untuk seorang laki-laki. Dia pun membela temannya itu habis-habisan di depanku. Padahal belum tentu dia membela aku di depan temannya itu. Pertengkaran terakhir kami adalah akibat pacarku itu menutup-nutupi pesan dari temannya itu di telepon selulernya. Jika terjadi sesuatu kepada temannya itu, dia langsung buru-buru mendatangi. Sementara ketika aku jatuh dari motor, rapuh akibat pertengkaran, sakit, apakah dia langsung mendatangiku? Tidak. Dengab berbagai alasan. Aneh bukan, hubungan aku dan pacarku rusak akibat tingkah seorang laki-laki?

Aku lelah untuk segala bentuk pertengkaran ini. Aku lelah dengan segala perbedaan pendapat ini. Dia dengan kehidupannya dan aku dengan kehidupanku. Tidak ada solusi yang dia berikan, dia hanya ingin mengejar mimpinya sendiri. Sepertinya dia belum bisa membagi hidupnya dengan orang lain.

Apakah sampai saat ini aku masih sayang kepadanya? Tentu saja. Apakah aku ingin menikah dengannya? Dengan segala yang telah kami lewati, tentu saja. Tapi apakah keinginanku ini yang terbaik? Apakah aku bahagia? Apakah aku siap menghadapi hidup dalam kecurigaan? Apakah aku siap menerimanya menjadi imam dan tunduk di bawah tangannya dengan pola pikir yang dia punya?

Entah sudah berapa banyak air mata ini mengalir. Entah sudah berapa kali hati ini digerogoti oleh kekecewaan.

Aku mau kamu Endon, tapi aku gak bisa seperti ini terus menerus. Kamu pun tidak memeperjuangkan aku secara maksimal. Kamu hanya dengan nafsumu. Kamu hanya membiarkan semuanya itu mengalir sampai pada akhirnya jatuh ke dalam muara dan mengalir kembali ke anak sungai selanjutnya. Tidak pernah berkomitmen untuk berhenti di satu titik untuk kita berdua.

Mungkin inilah yang disebut dengan manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan segalanya. Sampai saat ini pun aku masih berharap semua baik-baik saja. Tapi, itu hanya harapanku saja. Mungkin di sinilah saatnya sebuah akhir cerita. Mungkin. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar