Pengintip

Rabu, 30 September 2015

Ketika 28 menjadi 29

Setahun berlalu ketika 28 menjadi 29. Banyak hal yang terjadi selama satu tahun ke belakang ini. Semuanya seolah-olah membuat aku berpikir panjang tentang kehidupan. Seperti sudah masanya aku bukan menjadi anak remaja yang hidupnya penuh dengan tawa, tapi seorang wanita dewasa dengan berbagai macam problema. Semua ini terjadi ketika aku mulai berkaca dan melihat flek hitam serta kerutan di wajah, ketika sebagian besar orang sudah memanggil aku “BU” bukan lagi “MBAK”. Ternyata sudah tua.

Di sepanjang tahun ini aku mulai berpikir tentang masa depan. Entah mengapa, tapi rasa-rasanya aku mulai didatangi pikiran untuk mulai membenahi diri dari hal-hal yang remeh agar menjadi sesuatu yang berarti. Datang begitu saja tidak ada rancangan yang dipersiapkan sebelumnya.
Pikiran seperti ini seolah membuat aku bertengkar dengan diri sendiri yang hanya menginginkan senang-senang melulu. Tidak lagi aku menghabiskan uang bulananku untuk hal-hal yang aku suka, tapi aku mulai menabung. Tidak lagi aku malas mencuci muka, tapi alih-alih mempunyai seperangkat kosmetik. Tidak lagi aku menjadi si pemakan segala, tapi mulai mempertimbangkan makanan sehat jauh lebih baik untuk badan. Tidak lagi aku berpikir untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, tapi lebih ingin memandang alam, bersyukur, dan evaluasi diri bahwa di alam semesta ini aku bagai butiran debu. Tidak lagi aku berpikir untuk keliling dunia, tapi aku ingin membuat sekolah di daerah perbatasan Indonesia. Tidak lagi aku berpikir membina hubungan untuk senang-senang, tapi untuk menikah dan meniti masa depan. Semakin segala sesuatunya dipikirkan semakin terasa bahwa hidup di dunia ini bukan hanya sekedar senang-senang saja.

Ada suatu kejadian di mana aku berada di dalam titik terendah dalam hidup aku selama ini. Sepele, tapi cukup mengguncang. Kejadian tersebut membuatku berubah menjadi orang yang sangat amat pesimis. Membuat aku berpikir aku sangat “kecil” di dunia ini dan sendirian. Aku patah hati. Setelah sekian lama aku memupuk hati ini dengan penuh kebahagiaan, dalam sekejap hati aku berantakan. Puing-puingnya berceceran, sehingga aku berusaha untuk menatanya kembali menuju ke bentuk semula, tapi ternyata kosong isinya. Rasanya seperti hilang arah dan hilang tujuan.

Di sinilah aku belajar bahwa kebahagiaan itu enggak bisa dipaksakan. Rencana hanya rencana, Tuhan yang menentukan jalan akhirnya. Seheboh apapun kita bertindak, toh kalau Tuhan berkata tidak ya tidak. Aku memang terbiasa berusaha untuk meraih dan mencapai tujuan hingga berhasil, mungkin saatnya merasakan  tidak semua yang diinginkan bisa terealisasikan. Bukan untuk menjadi pesimis, tapi untuk mengingatkan bahwa hal-hal yang kita inginkan tidak selalu menjadi yang terbaik dan yang kita butuhkan. Aku hanya perlu sabar, ikhlas, dan bersyukur.

Mungkin 29 angka yang tepat untuk mengisi kembali hati yang kosong dengan puing-puing yang berceceran. Jika puingnya hilang maka saatnya mendekatkan diri kepada Tuhan agar diberikan pengganti apa yang hilang. Tuhan sudah kasih aku umur panjang hingga aku masih bisa merasakan indahnya angka 29 ini, di mana aku sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, hidup berkecukupan, dan dikasih kesempatan untuk mempelajari ilmu baru untuk menambah pengetahuan serta gelar di belakang namaku.

Terima kasih Tuhan atas apa yang sudah Kau beri. Maaf, jika aku masih kurang bersyukur.
Aku ingin di usia ku yang bertambah ini aku menjadi lebih baik lagi.
Aku ingin melangkah bersama semesta dan berguna untuknya.
Aku ingin menjadi aku yang selalu memperjuangkan impian-impianku.
Aku ingin terselimuti kebahagiaan
Aku ingin mendapatkan sosok seorang imam yang terbaik
Aku ingin membuat mamah bahagia. Aku hanya punya satu dan aku akan berusaha untuknya.

Tuntun aku Tuhan, semoga di usia 29 ini aku semakin tangguh dan semakin berani menghadapi kenyataan :)
Selalu libatkan aku dalam setiap rencanamu, agar semua terasa semakin lebih sempurna.


Rabu, 09 September 2015

Selamat malam semesta

Selamat malam semesta,

Lagi-lagi aku menghabiskan malam bersamamu. Di tengah keheningan, yang mana aku hanya bisa mendengar suara pendingin ruangan yang sesungguhnya tidak terasa dingin. Tapi kenapa di tengah keheningan ini terjadi kegaduhan? Aku menoleh ke segala penjuru, tidak ada apapun yang membuat gaduh. Sepi.

Kupastikan kembali, ternyata kegaduhan tersebut berasal dari dalam kepalaku. Setiap malam ragaku lelah, tapi kepalaku ini nampaknya tidak ada lelah-lelahnya untuk berikir. Ketika perasaan dan logika seperti sedang bertengkar di kepalaku ini. Ketika perasaanku menebar memori dan logikaku menangkisnya dengan hal-hal logis. Masing-masing berteriak membuatku pengak. Belum lagi amarahku yang tiba-tiba ikut berkecamuk dalam pikiran. Semuanya bercampur aduk di tengah keheningan ini.

Semesta, ingin rasanya aku mendapatkan ketenangan dan kenyamanan. Aku ingin pulang ke "rumah", yang memberi aku kenyamanan dan keamanan.
Aku sedih semesta,
Kenapa semunya berakhir seperti ini?

Sabtu, 05 September 2015

Kapan Kawin?

Bulan-bulan sekarang waktunya musim kawin. Ada yang udah ngasih undangan, ada yang udah melangsungkan pernikahan, ada juga yang baru lamaran. Postingan-postingan mereka rasanya mengiris hati. Kadang-kadang aku merasa iri.

Jangan harap aku menjawab ketika ada yang bertanya "Kapan kawin?". Aku aja enggak tahu kapan aku kawin. Jangan sangka aku enggak mau kawin. Pasti maulah. Apalah rasanya ketika reuni cuma aku yg belum gendong bayi. Apalah rasanya ketika kumpul-kumpul harus cepet bubar,  gara-gara pada udah harus ngurus anak dan suami. Galau. Karena kalo aku pulang cepat-cepat nyampe rumah gak ada yang nunggu.

Tapi bukan berarti alasan aku kepingin kawin gara-gara orang lain udah pada kawin. Nope. Alasan terbesar aku adalah umur aku udah tua hahaha. Udah 28 tahun!!! Bentar lagi 29 tahun!!! Tahun depan 30 tahun!!! Aku gak pingin berbeda umur terlalu jauh dengan anakku nanti. Aku pingin aku bisa menjadi teman anakku ketika dia berkembang, tempat anakku cerita ketika ada masalah. Somehow orangtua adalah orang pertama untuk anak-anaknya. Yang lainnya adalah, aku udah lelah hidup sendiri. Bayangin aja aku pernah ketiduran di lantai kosan, lengkap dengan tas dan sepatu, karena terlalu lelah habis kuliah. Gak ada yang ngurus, gak ada yang ngingetin, gak ada pula yang nyambut. Sedih ya? Hahaha

Tapi kawin kan gak semudah beli garem di Indomaret. Kawin kan harus ada jodohnya kalau gak ada gimana bisa kawin? Pun kalau udah ada juga harus ada lagi penilaian-penilaian yang lain.

Tuhan,
Aku gak tahu sih kalo aku nulis di sini kira-kira bisa nyampe ke atas sana gak, yah? Tapi aku juga selalu membacanya di habis sujudku. Aku ingin menikah saat umurku 30 tahun. Semoga aku segera diberi jodoh yang bisa menjadi imamku, panutanku, dan bisa membimbing aku dengan baik ke arah yang lebih baik. Imam yang bisa menyayangi aku dan keluargaku dengan tulus, tanpa ada maksud dibelakangnya. Imam yang bisa menafkahiku dan anak-anakku kelak. Imam yang bisa meredam emosi negatifku dan menjadi pelindungku serta keluargaku. Imam yang bisa menjaga kehormatanku. Imam yang bisa mengimamiku sampai akhir hayat nanti.

*elap air mata*

Semoga doaku cepat di jabah, ya Tuhan. Kan, orang-orang lagi malam mingguan.

Terima kasih Tuhan.




Kamis, 03 September 2015

Sebuah Pelajaran

Pagi ini aku membaca sebuah artikel tentang mengapa suatu hubungan percintaan harus diakhiri dan bagaimana caranya mempertahankan hubungan agar harmonis.

Ada baiknya memang hubunganku diakhiri karena memang sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi. Aku seperti tersentil oleh artikel pertama. Ya,  memang jalan berpisah adalah jalan yang paling tepat. Lagian kami belum terikat apa-apa. Beda halnya jika sudah punya anak. Mungkin aku akan masih mencoba untuk bertahan layaknya ibuku yang mempertahankan rumah tangganya hingga aku sebesar ini.

Pelajaran terbesar yang aku petik semuanya terangkum di artikel kedua. Menjalin suatu hubungan dengan orang lain itu tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dilakukan, bukan seketldar romansa dan cinta. Cinta itu fluktuatif, dia bisa berubah menjadi besar tapi sewaktu-waktu bisa menghilang.

Salah satu hal yang cukup penting adalah kepercayaan. Dari awal aku sudah menyimpan kepercayaan kepadanya. Tapi kepercayaan itu dianggap sepele olehnya di awal-awal kami pacaran. Sehingga pada akhirnya kepercayaan aku hilang. Mustinya saat itu adalah waktu yang tepat untuk berpisah, untuk apa aku bertahan jika sudah tidak ada kepercayaan. Tapi bodohnya aku masih berpegang kepada hal-hal yang fluktuatif. Lama-lama seperti bom waktu aku meledak dalam kecurigaan. Bertindak seperti seorang detektif yang menyelidiki segala hal. Untuk apa dipertahankan jika terus-terusan seperti ini? Lelah. Lebih lelah daripada mendaki Semeru. Pikiran dan jiwa tidak tenang bisa-bisa menjadi gila.

Hal lain adalah komunikasi. Diam tidak menyelesaikan segalanya. Jujur memang menyakitkan, tapi itu lebih penting. Tapi apa iya yang namanya sayang ingin menyakiti? Aku yakin tidak. Mustinya dengan berkomunikasi baik semuanya bisa lancar. Kalo disengaja mempersulit komunikasi, yah, sama bagai hilang kepercayaan. Lelah. Yang ada hanyalah pertengkaran dan pertengkaran. Pertengkaran ini bagai dirasuki setan sehingga banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi dalam sebuah hubungan ada baiknya juga meredam kemarahan. Dengan komunikasi yang baik dan mengesampingkan ego, aku yakin pertengkaran dan kemarahan bisa dihindari. Karena pada intinya ketika kita memutuskan untuk berhubungan dengan orang pasti dilandasi oleh rasa sayang.

Ketika behubungan dengan orang berarti kita membagi kehidupan dengan orang. Saling menghargai, saling mendukung, dan saling menghormati. Sehingga tidak bisa hidup seenak udel. Asal ada kepercayaan dan komunikasi kita pasti bisa menghargai, mendukung, dan menghormati. Semua berkaitan satu sama lain. Jangan mau seenaknya sendiri, merasa ingin dihargai, didukung, dan dihormati, tapi sikap yang ditunjukkan tidak ada yg mendukung agar kita melakukan semua hal tersebut.

Mungkin di awal-awal pacaran semua terasa indah dan sempurna. Segala perbedaan dan tingkah laku bisa diterima dengan lapang dada. Tapi setelah sekian lama kita akan semakin tau bagai mana dalem-dalemnya. Ego masing-masing akan berjalan. Apalagi ketika sudah memutuskan untuk menikah. Menikah itu bukan sekedar menghindarkan kita dari godaan-godaan, pesta besar untuk mengundang orang. Bayangkan, hingga akhir hayat nanti kita harus menghabiskan hidup kita bersama orang lain yang tadinya bukan siapa-siapa. Banyak hal yang harus dipersiapkan, direncanakan, dan dilakukan. Bukan hanya untuk kehidupan kedua pasangan, tapi kehidupan anak dan hari tua.

"Kalo udah nikah mah rejeki pasti dateng dari mana aja." Gimana pendapatmu tentang pernyataan ini? Menurutku pernyataan ini harus disertai dengan tekad yang kuat untuk berjuang hidup. Bukan disertai oleh kepasrahan. Apa iya, kalo tanpa berjuang tiba2 dapet segepok uang untuk ngebiayain anak kita makan, hidup, dan sekolah? Tidak bisa lah kita mengikuti arus dengan diam. Toh ikan aja melawan arus, yang mengikuti arus cuma (maaf)  tai.

Saat perayaan puncak hari anak tempo lalu, dijelaskan dengan gamblang mengapa kehidupan masyarakat Indonesia banyak yang terikat dalam sebuah siklus. Anak akan berada dalam sebuah siklus yang diwariskan oleh orang tuanya. Jika ia miskin maka akan terus menjadi miskin, kecuali si anak memutuskan siklus tersebut dengan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Hal ini disebabkan dengan modal "rejeki datang setelah menikah" tapi hanya dibarengi dengan rasa pasrah. Untuk merubah semuanya, memang harus ada bantuan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya. Tapi bukan berarti menunggu diam hingga ada peri baik hati datang yang mengubah semuanya.

Beda halnya dengan "rejeki datang setelah menikah" tapi dibarengi dengan perjuangan. Beberapa teman-temanku sudah membuktikannya. Dan itu terlihat sangat indah. Memulai semuanya dari nol bersama-sama. Istri berjuang, suami berjuang, anak senang, semua tenang.

Bukan berarti cinta si fluktuatif dikesampingkan. Tapi kita bisa posisikan dia di nomer 12. Masa iya mau menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Nomer 1-11 mungkin bisa berupa hal-hal penting yang harus dipersiapkan dan bersifat tetap. Tapi entahlah, aku belum menikah jadi belum paham betul masalah membina sebuah keluarga.

Pada intinya, semua menjadi sebuah pembelajaran yang sangat bermanfaat untuk aku untuk membina sebuah hubungan.