Pengintip

Kamis, 03 September 2015

Sebuah Pelajaran

Pagi ini aku membaca sebuah artikel tentang mengapa suatu hubungan percintaan harus diakhiri dan bagaimana caranya mempertahankan hubungan agar harmonis.

Ada baiknya memang hubunganku diakhiri karena memang sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi. Aku seperti tersentil oleh artikel pertama. Ya,  memang jalan berpisah adalah jalan yang paling tepat. Lagian kami belum terikat apa-apa. Beda halnya jika sudah punya anak. Mungkin aku akan masih mencoba untuk bertahan layaknya ibuku yang mempertahankan rumah tangganya hingga aku sebesar ini.

Pelajaran terbesar yang aku petik semuanya terangkum di artikel kedua. Menjalin suatu hubungan dengan orang lain itu tidak mudah. Ada banyak hal yang harus dilakukan, bukan seketldar romansa dan cinta. Cinta itu fluktuatif, dia bisa berubah menjadi besar tapi sewaktu-waktu bisa menghilang.

Salah satu hal yang cukup penting adalah kepercayaan. Dari awal aku sudah menyimpan kepercayaan kepadanya. Tapi kepercayaan itu dianggap sepele olehnya di awal-awal kami pacaran. Sehingga pada akhirnya kepercayaan aku hilang. Mustinya saat itu adalah waktu yang tepat untuk berpisah, untuk apa aku bertahan jika sudah tidak ada kepercayaan. Tapi bodohnya aku masih berpegang kepada hal-hal yang fluktuatif. Lama-lama seperti bom waktu aku meledak dalam kecurigaan. Bertindak seperti seorang detektif yang menyelidiki segala hal. Untuk apa dipertahankan jika terus-terusan seperti ini? Lelah. Lebih lelah daripada mendaki Semeru. Pikiran dan jiwa tidak tenang bisa-bisa menjadi gila.

Hal lain adalah komunikasi. Diam tidak menyelesaikan segalanya. Jujur memang menyakitkan, tapi itu lebih penting. Tapi apa iya yang namanya sayang ingin menyakiti? Aku yakin tidak. Mustinya dengan berkomunikasi baik semuanya bisa lancar. Kalo disengaja mempersulit komunikasi, yah, sama bagai hilang kepercayaan. Lelah. Yang ada hanyalah pertengkaran dan pertengkaran. Pertengkaran ini bagai dirasuki setan sehingga banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi dalam sebuah hubungan ada baiknya juga meredam kemarahan. Dengan komunikasi yang baik dan mengesampingkan ego, aku yakin pertengkaran dan kemarahan bisa dihindari. Karena pada intinya ketika kita memutuskan untuk berhubungan dengan orang pasti dilandasi oleh rasa sayang.

Ketika behubungan dengan orang berarti kita membagi kehidupan dengan orang. Saling menghargai, saling mendukung, dan saling menghormati. Sehingga tidak bisa hidup seenak udel. Asal ada kepercayaan dan komunikasi kita pasti bisa menghargai, mendukung, dan menghormati. Semua berkaitan satu sama lain. Jangan mau seenaknya sendiri, merasa ingin dihargai, didukung, dan dihormati, tapi sikap yang ditunjukkan tidak ada yg mendukung agar kita melakukan semua hal tersebut.

Mungkin di awal-awal pacaran semua terasa indah dan sempurna. Segala perbedaan dan tingkah laku bisa diterima dengan lapang dada. Tapi setelah sekian lama kita akan semakin tau bagai mana dalem-dalemnya. Ego masing-masing akan berjalan. Apalagi ketika sudah memutuskan untuk menikah. Menikah itu bukan sekedar menghindarkan kita dari godaan-godaan, pesta besar untuk mengundang orang. Bayangkan, hingga akhir hayat nanti kita harus menghabiskan hidup kita bersama orang lain yang tadinya bukan siapa-siapa. Banyak hal yang harus dipersiapkan, direncanakan, dan dilakukan. Bukan hanya untuk kehidupan kedua pasangan, tapi kehidupan anak dan hari tua.

"Kalo udah nikah mah rejeki pasti dateng dari mana aja." Gimana pendapatmu tentang pernyataan ini? Menurutku pernyataan ini harus disertai dengan tekad yang kuat untuk berjuang hidup. Bukan disertai oleh kepasrahan. Apa iya, kalo tanpa berjuang tiba2 dapet segepok uang untuk ngebiayain anak kita makan, hidup, dan sekolah? Tidak bisa lah kita mengikuti arus dengan diam. Toh ikan aja melawan arus, yang mengikuti arus cuma (maaf)  tai.

Saat perayaan puncak hari anak tempo lalu, dijelaskan dengan gamblang mengapa kehidupan masyarakat Indonesia banyak yang terikat dalam sebuah siklus. Anak akan berada dalam sebuah siklus yang diwariskan oleh orang tuanya. Jika ia miskin maka akan terus menjadi miskin, kecuali si anak memutuskan siklus tersebut dengan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Hal ini disebabkan dengan modal "rejeki datang setelah menikah" tapi hanya dibarengi dengan rasa pasrah. Untuk merubah semuanya, memang harus ada bantuan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya. Tapi bukan berarti menunggu diam hingga ada peri baik hati datang yang mengubah semuanya.

Beda halnya dengan "rejeki datang setelah menikah" tapi dibarengi dengan perjuangan. Beberapa teman-temanku sudah membuktikannya. Dan itu terlihat sangat indah. Memulai semuanya dari nol bersama-sama. Istri berjuang, suami berjuang, anak senang, semua tenang.

Bukan berarti cinta si fluktuatif dikesampingkan. Tapi kita bisa posisikan dia di nomer 12. Masa iya mau menikah dengan orang yang tidak kita cintai. Nomer 1-11 mungkin bisa berupa hal-hal penting yang harus dipersiapkan dan bersifat tetap. Tapi entahlah, aku belum menikah jadi belum paham betul masalah membina sebuah keluarga.

Pada intinya, semua menjadi sebuah pembelajaran yang sangat bermanfaat untuk aku untuk membina sebuah hubungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar