Setahun berlalu ketika 28 menjadi 29. Banyak hal yang
terjadi selama satu tahun ke belakang ini. Semuanya seolah-olah membuat aku
berpikir panjang tentang kehidupan. Seperti sudah masanya aku bukan menjadi
anak remaja yang hidupnya penuh dengan tawa, tapi seorang wanita dewasa dengan
berbagai macam problema. Semua ini terjadi ketika aku mulai berkaca dan melihat
flek hitam serta kerutan di wajah, ketika sebagian besar orang sudah memanggil
aku “BU” bukan lagi “MBAK”. Ternyata sudah tua.
Di sepanjang tahun ini aku mulai berpikir tentang masa
depan. Entah mengapa, tapi rasa-rasanya aku mulai didatangi pikiran untuk mulai
membenahi diri dari hal-hal yang remeh agar menjadi sesuatu yang berarti.
Datang begitu saja tidak ada rancangan yang dipersiapkan sebelumnya.
Pikiran seperti ini seolah membuat aku bertengkar dengan
diri sendiri yang hanya menginginkan senang-senang melulu. Tidak lagi aku
menghabiskan uang bulananku untuk hal-hal yang aku suka, tapi aku mulai
menabung. Tidak lagi aku malas mencuci muka, tapi alih-alih mempunyai
seperangkat kosmetik. Tidak lagi aku menjadi si pemakan segala, tapi mulai
mempertimbangkan makanan sehat jauh lebih baik untuk badan. Tidak lagi aku
berpikir untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, tapi lebih ingin
memandang alam, bersyukur, dan evaluasi diri bahwa di alam semesta ini aku
bagai butiran debu. Tidak lagi aku berpikir untuk keliling dunia, tapi aku
ingin membuat sekolah di daerah perbatasan Indonesia. Tidak lagi aku berpikir
membina hubungan untuk senang-senang, tapi untuk menikah dan meniti masa depan.
Semakin segala sesuatunya dipikirkan semakin terasa bahwa hidup di dunia ini
bukan hanya sekedar senang-senang saja.
Ada suatu kejadian di mana aku berada di dalam titik
terendah dalam hidup aku selama ini. Sepele, tapi cukup mengguncang. Kejadian
tersebut membuatku berubah menjadi orang yang sangat amat pesimis. Membuat aku
berpikir aku sangat “kecil” di dunia ini dan sendirian. Aku patah hati. Setelah
sekian lama aku memupuk hati ini dengan penuh kebahagiaan, dalam sekejap hati
aku berantakan. Puing-puingnya berceceran, sehingga aku berusaha untuk
menatanya kembali menuju ke bentuk semula, tapi ternyata kosong isinya. Rasanya
seperti hilang arah dan hilang tujuan.
Di sinilah aku belajar bahwa kebahagiaan itu enggak bisa
dipaksakan. Rencana hanya rencana, Tuhan yang menentukan jalan akhirnya.
Seheboh apapun kita bertindak, toh kalau Tuhan berkata tidak ya tidak. Aku
memang terbiasa berusaha untuk meraih dan mencapai tujuan hingga berhasil,
mungkin saatnya merasakan tidak semua
yang diinginkan bisa terealisasikan. Bukan untuk menjadi pesimis, tapi untuk
mengingatkan bahwa hal-hal yang kita inginkan tidak selalu menjadi yang terbaik
dan yang kita butuhkan. Aku hanya perlu sabar, ikhlas, dan bersyukur.
Mungkin 29 angka yang tepat untuk mengisi kembali hati yang
kosong dengan puing-puing yang berceceran. Jika puingnya hilang maka saatnya
mendekatkan diri kepada Tuhan agar diberikan pengganti apa yang hilang. Tuhan
sudah kasih aku umur panjang hingga aku masih bisa merasakan indahnya angka 29
ini, di mana aku sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, hidup berkecukupan, dan
dikasih kesempatan untuk mempelajari ilmu baru untuk menambah pengetahuan serta
gelar di belakang namaku.
Terima
kasih Tuhan atas apa yang sudah Kau beri. Maaf, jika aku masih kurang bersyukur.
Aku
ingin di usia ku yang bertambah ini aku menjadi lebih baik lagi.
Aku
ingin melangkah bersama semesta dan berguna untuknya.
Aku
ingin menjadi aku yang selalu memperjuangkan impian-impianku.
Aku
ingin terselimuti kebahagiaan
Aku
ingin mendapatkan sosok seorang imam yang terbaik
Aku
ingin membuat mamah bahagia. Aku hanya punya satu dan aku akan berusaha untuknya.
Tuntun aku Tuhan, semoga di usia 29 ini aku semakin tangguh dan
semakin berani menghadapi kenyataan :)
Selalu libatkan aku dalam setiap
rencanamu, agar semua terasa semakin lebih sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar