Pengintip

Kamis, 28 Juni 2012

nyam nyam nyam :9

Daftar makanan, minuman dan dessert yang sudah berhasil dimakan di Bandung selama liburan:
1. Ramen Kedai Ling-Ling
2. Pizza Resep Moyang
3. Baso Tahu
4. KFC
5. Lomie Istiqomah
6. Berger Moo
7. Hot Dog Moo
8. Desert Manggo Kedai Ling-ling
9. Green Tea Kedai Ling-ling
10. Tahu 5 musim dan nasi goreng ikan asin Ta Wan
11. J-cool
12. Pancake Potlack
13. Lagsana Ngopi Dulu
14. Sate Ayam Antapani

Apa lagi yahhhh....?!

Senin, 25 Juni 2012

Kaki-kaki Tanpa Sepatu

Anak-anak itu berlarian kesana kemari. Yang aku perhatikan mereka berlarian tanpa menggunakan sepatu, mereka berlarian dengan kaki telanjang.

Beberapa waktu lalu aku melihat acara televisi yang berisi tentang kabar para selebriti. Sudah lama rasanya aku tidak menonton acara seperti ini, mengingat di daerah penugasanku belum ada listrik. Sehingga kegiatan menonton acara televisi pun bukan menjadi prioritas. Tapi itu tbukan hal penting yang harus dikeluhkan, karena begitu aku kembali menonton televisi sepertinya tidak ada satu pun acara yang menarik dan berkualitas. Isinya hanyalah acara-acara yang dengan mudah memberikan pola pikir menjadi instan.

Dalam acara tersebut diceritakan bagaimana seorang selebriti mengoleksi sepatu dengan berbagai jenis dan tentu saja dengan harga yang luar biasa. Semua sepatu tertata dengan rapih di dalam lemari kaca. Aku segera melihat tumpukan sepatuku, berbeda sekali kondisinya dengan sepatu si selebriti. Sepatu-sepatu Aku bertumpuk tak tahu arah dan tujuan, berdebu, dan butut.

Tiba-tiba aku teringat dengan sepatu murid-muridku. Seorang anak bisa dipastikan hanya memiliki satu pasang sepatu. Sehingga bagi mereka sepatu itu menjadi barang yang sangat penting, bahkan demi keawetan sepatu, mereka rela tidak menggunakan sepatu ketika beraktifitas. Bahkan suatu hari aku mendapati si Mukhlis yang jalan terpincang-pincang karena dia menginjak benda tajam. Mereka pun rela kakinya terluka demi sepasang sepatu yang tetap dalam kondisi yang bagus.

Tidak jarang aku harus bawel memeringatkan mereka agar menggunakan sepatu di dalam kelas. Bahkan ketika memulai pelajaran, aku harus berkeliling dulu memastikan semua kaki menggunakan sepatu, tidak ada yang telanjang.

Ketika lonceng pulang berbunyi, yang terjadi adalah anak-anak itu melepas sepatunya, mereka pun pulang berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh tanpa alas kaki. Padahal matahari siang sedang bertugas, jalanan penuh debu dan bebatuan. Bahkan, ketika hujan turun yang menyebabkan jalan berlumpur dan kotor, mereka datang dan pergi ke sekolah tidak menggunakan sepatu, begitu di kelas baru sepatu pun dipakai.

Setiap pelajaran olah raga pun mereka meminta izin kepadaku untuk melepas sepatunya. Mereka tidak mau sepatunya rusak ketika dipakai saat berlari atau meloncat. Aku pun tidak berkeras hati untuk melarangnya, aku hanya mengatakan agar mereka hati-hati jangan sampai kakinya terluka.

Ketika aku tanyakan alasan mereka kenapa lebih memilih tidak menggunakan sepatu mereka pun menjawab:

"Di sini memang seperti itu buk, semua awet-awetan sepatu. Biar sepatunya tidak cepat rusak."

Dalam hati Aku tertawa dan mengutuk diri sendiri. Lihatlah anak-anak ini, hidup di tengah kesederhanaan bukan menjadikan mereka menjadi-jadi dan menuntut keadaan yang lebih baik. Tapi mereka mencari cara untuk bertahan, dengan cara mereka sendiri. Betapa mereka menghargai apa yang mereka punya dan menjaganya. Ini semua dilakukan oleh anak sekolah dasar.

Aku? hahahahaha (tertawa miris)

Minggu, 24 Juni 2012

We could be in love.


Be still my heart

Lately its mind is all its own

It would go far and wide

Just to be near you

Even the stars, shining up bright

I've noticed when you're close to me

Still it remains a mystery.


Anyone who's seen us

Knows what's goin' on between us

It doesn't take a genius

To read between the lines

And it's not just wishful thinking

Or only me who's dreaming

I know what these are symptoms of

We could be in love.


I ask myself why

I sleep like a baby through the night

Maybe it helps to know

You'll be there tomorrow

Don't open my eyes (ooh hoo-hoo)

I'll wake from the spell I'm under

Makes me wonder how (tell me how)

I could live without you now.



And what about the laughter

The happy ever after?

Like voices of sweet angels

Calling out our names

And it's not just wishful thinking

Or only me who's dreaming

I know what these are symptoms of

We could be in love.



All my life, I have dreamed of this

But I could not see your face

Don't ask why to such distant stars

Can fall right into place.



...love.


Oh, it doesn't take a genius

To know what these are symptoms of

We could be, oh hoh we could be

We could be in love, we could be

We could be in love.

Sekali lihat, Jatuh Cinta!

Beberapa waktu lalu ketika aku sedang berlibur ke Phuket, secara tidak sengaja sambil mengemudikan motor yang aku sewa aku melihat sebuah baju. Baju bermotif etnik dengan warna dasar merah muda dan bercorakkan berbagai macam warna. Aku melihat sekilas dan aku langsung jatuh hati. Sayang aku sedang melaju dengan kencang dan mengejar waktu. Aku melewatkan si baju begitu saja. Tapi pandangan pertama itu menuai kesan dalam benakku. Aku tidak tenang, aku berkata kepada temanku aku ingin baju itu. Toko demi toko kami susuri hanya untuk mendapatkan baju itu, hasilnya nihil. Untuk kembali ke toko di mana aku melihat baju tersebut pun jaraknya cukup jauh. Aku hanya bisa pasrah menahan perasaan itu. Perasaan ingin memiliki. 

Apa ini yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama? Aku tak tahu. Tapi jika yang seperti ini adalah  cinta pandangan pertama, berarti aku pernah merasakannya, mungkin hingga saat ini.

***

Aku melihatnya saat itu, aku sedang berjalan di sebuah lorong dan dia di dalam sebuah ruangan. Sekilas saja, tapi itu semua terekam jelas wajahnya dan pandangan yang dia lempar ke arahku. Semua terjadi begitu cepat dan singkat, perasaan ini entah apa namanya.

Dia seperti patung diam seribu bahasa, membuat aku menjadi penasaran dia itu manusia apa setan? Gerak-geriknya santai, seperti seorang mata-mata yang sedang memerhatikan target operasi. Tidak ada interaksi sama sekali. Tapi perasaan ini tetap ada. Mungkin diam-diam aku jatuh cinta, tanpa alasan, tanpa sebab, mata ini sudah berulah kepada hati.

Suatu saat Aku melihatnya kembali, tanpa ada kemudi kaki melangkah mendekatinya. Aku memulai pembicaraan, basa-basi. Seperti inilah sistem yang ada di kepalaku, spontan tanpa rencana, meledak tanpa ada api penyulut sumbu, seperti bau kentut yang tiba-tiba tercium. Spontan selalu saja spontan. Kami tertawa, kami bicara, kami saling tegur sapa, sepertinya kami punya cerita.

Sudah lama aku mati rasa, tapi kenapa hanya dari kilasan penglihatan tiba-tiba semua menjadi merah muda? Jatuh cinta itu tidak bisa diatur, perasaan itu  seperti tamu tidak diundang. Hanya tinggal menghitung satu dua tiga, pikiran sudah mulai penuh dengan dirinya yang entah siapa.

Aku anggap ini semua hanya permainan. Tapi aku terlalu maniak dengan permainan ini. Tanpa perlu sebuah program, secara otomatis mata ini mencari, melihat, tersenyum, berkhayal, lalu diam. Terus menerus seperti sistem lampu lalu lintas dimana merah itu berhenti, kuning hari-hati, hijau untuk maju. Aku menikmati permainan ini, tidak peduli apakah ini khayalan atau bukan tapi menurutku ini semua menyenangkan. Tidak pernah ada yang tau apa yang aku rasakan, hanya aku yang tau bagaimana rasa dari semua ini.

Teredam waktu aku hanya diam. Aku tidak terlalu mengindahkan perasaan jatuh cinta, tidak bisa aku spontan seperti biasanya, aku menikmati secara diam-diam. Tidak ada yang tau, hanya aku. Sampai hari ini aku masih merasa hal yang sama, tidak berubah seperti cerita dalam sebuah drama. Tidak ada ujung pangkalnya. Padahal sudah lama kami tidak tertawa, kami tidak bicara, bahkan untuk bertegur sapa. Kami berada dalam dunia kita. Rindu pun sepertinya menyiksa.



Tapi perasaan ini tetap sama, tidak berputar seperti bumi dengan porosnya. Aku jatuh cinta kepadanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada akhir bahagia, karena ini semua seperti sejarah Indonesia, terkurung dalam ruang dan waktu sehingga tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Hanya mengetahui sedikit kabarnya saja aku sudah bahagia walau hanya lewat dunia maya. Terkadang jatuh cinta bisa membuat orang sedikit kehilangan akal sehatnya. Tenggelam dalam lautan perasaan, lupa bahwa nelayan harus tetap mencari ikan.

Andaikan dia tahu, tapi apakah menjadi tahu akan menimbulkan akhir sebuah cerita. Justru dalam diam, semua akan tetap hidup dalam kenangan walaupun pada akhirnya ini semua hanya berbentuk bayang-bayang.

Ketika kami berpindah tempat menuju daerah lain, aku melihatnya sekilas dari kejauhan. Baju yang aku idam-idamkan, tertutup di antara baju-baju yang bergantung di langis-langit sebuah toko kelontong. Aku seperti bertemu dengan jodohku, tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Saat itu seperti dalam pelajaran peluang di matematika, peluang aku bisa bertemu lagi dengan baju itu sebenarnya sangat kecil. Tapi ternyata cerita berakhir dengan bahagia. 

Minggu, 10 Juni 2012

Kenangan Lewat Sebuah Lagu

Seorang pujangga memberikan apresiasi terhadap perasaannya melalui sebuah puisi romantis. Tapi untuk khalayak umum perasaan lebih sering tersirat dari sebuah lagu.

***
Aku adalah seseorang yang tertarik  dengan kebudayaan. Selama aku tinggal dan menjadi guru di Tulang Bawang Barat, aku selalu tertarik dengan kebudayaan yang masih dilestarikan oleh orang-orang yang tinggal di kampung Bali. Mereka adalah transmigran yang berasal dari Bali dan beragama Hindu. Hampir seluruh rumah berhiaskan pura untuk sembahyang. Di hari-hari tertentu mereka sering membuat sajen. Yang paling lucu anak-anak dari kampung Bali suka datang ke rumahku untuk belajar tambahan. Jika ada perayaan keagamaan mereka selalu datang sambil membawakan kue-kue.

Sering kali lagu-lagu Bali berkumandang, sehingga aku selalu menyenangkan hati dengan menganggap bahwa aku ini sedang berada di Bali. Mungkin perbedaannya kalau di Bali aku bisa melihat pantai, kalau di sini aku hanyalah sebatas kolam lumpur. Lagu Bali ini khas sekali dengan dentingan-dentingan gamelan. Tanpa disadari ketika mendengar musik dengan tipe seperti itu, alam bawah sadar aku langsung mengatakan bahwa itu adalah musik Bali.

Aku jadi berpikir untuk mengajarkan muridku beberapa kebudayaan Sunda, khususnya dalam bentuk lagu. Aku ingin seperti dentingan lagu Bali tadi, begitu didengarkan aku ingin sekali seluruh murid aku akan mengingat aku. Aku ingin memberikan kenangan yang aku berikan bukan dalam bentuk barang, tapi dalam bentuk memori. Benda mungkin akan hilang tapi jika memberikan memori pasti akan selalu tersimpan dengan rapih. Apalagi memori dari seorang guru untuk muridnya :')

" Abdi teh ayeuna gaduh hiji boneka
Teu kinten saena sareng lucuna
Ku abdi di erokkan 
Erokna sae pisan
Cik mangga tinggali boneka abdi"

Lagu ini pendek dengan syair bahasa sunda. Nadanya pun mudah diingat dan ceria. Sekejap saja muridku ini sudah bisa menyanyikan dengan nada dan irama yang tepat. Bahkan aku selalu meminta mereka bernyanyi untukku. Satu anak tiba-tiba berkata:

"Buk, waktu itu Buk Yuni (guru yang bertugas sebelum aku) juga ngajarin lagu daerah Makasar, judulnya Ikateri."
"Kalian masih ingat lagunya?"
"Masih dong Buk!"

Benarkan apa yang aku bilang, memori itu melekat dengan sempurna. Mereka bernyanyi lagu daerah  Makasar tersebut. Nadanya pelan, sehingga tiba-tiba suara anak yang paling keras berhenti, dan diikuti teman sebelahnya yang juga tiba-tiba berhenti. Lama-lama mereka semua berhenti bernyanyi. Bukan karena lupa liriknya, tapi mereka menangis. Tiba-tiba semua anak menangis mengingat guru yang telah mengajari mereka selama satu tahun sebelum aku. 

Tenggorokkan aku tercekat juga melihat kejadian ini. Mataku basah, dan hampir aku ikut menangis. Tapi aku selalu berjanji untuk tidak pernah menangis di depan murid-muridku ini. Akhirnya aku meminta mereka menyanyikan kembali lagu yang aku ajarkan, aku sepertinya baru saja menguak rindu di hati kecil mereka.

Aku memilih lagu yang tepat sepertinya, lagu singkat bernada ceria. Walaupun pengalaman kami singkat hanya  satu tahun saja, aku ingin mereka selalu mengingat keceriaan yang aku berikan. Semoga dengan kenangan lewat lagu ini mereka tidak menangis suatu saat nanti.

Kamis, 07 Juni 2012

Pernah Merasa Gagal?

Menjadi seorang guru bukan serta merta hanya datang ke sekolah, buka buku, cuap-cuap sampe lonceng berbunyi. Seperti robot yang sudah memiliki sistem untuk melakukan hal-hal yang sama setiap harinya. Aku selalu menyerap dalam-dalam dengan apa yang dikatakan oleh Munif Chatib, alangkah baiknya ketika seorang guru menjadi gurunya manusia. Seorang guru yang menjadikan murid-muridnya sebagai seorang juara, menggalikan harta karun yang terbenam di dalam diri muridnya, memahami kemampuannya, lalu mengembangkannya.

Semustinya seperti itu, tapi kenyataannya memble.

Entahlah, sudah tujuh bulan aku di sini. Menjadi seorang guru yang melihat sisi kehidupan lain dari masyarakat Indonesia. Berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai macam latar belakang, bahkan terkadang aku sering lupa dari mana aku berasal. Setiap harinya aku berangkat ke sekolah menyampaikan materi demi materi sampai murid-muridku itu mencapai indikator yang ada. Sistem indikator ini mungkin akan terasa lambat, karena murid harus benar-benar memahami konsep dan mencapai indikator yang ada, ketika sudah tercapai baru melangkah ke kompetensi dasar selanjutnya. Tapi ketika murid paham akan konsep, niscaya mereka akan lebih mudah menyelesaikan modifikasi soal.

Lagi-lagi itu semua tergantung kepada sang guru, mampu atau tidaknya indikator tercapai sebanding dengan apa yang disampaikan olehnya.

Aku sedikit mengalami kesulitan di sini, pola pikir dan sistem yang sudah menjamur membuat sulit menerapkan teori yang ada. Entahlah apa yang salah dengan sistem di sekolah tempat aku bertugas ini, murid-muridnya belum menaruh perhatian khusus terhadap kemajuan dirinya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menganggap ujian adalah hal yang biasa-biasa saja. Mereka ingin naik kelas, tapi usaha yang diberikan kurang. Mungkin mereka ingin memakai cara kerja bengkel ketok magic kali yaa.

Simpang siur nilai ujian mulai beradaptasi dengan kuping ini. Beberapa pihak tidak setuju bahwa kecerdasan anak hanya dilihat dari nilai (termasuk aku), akan tetapi masih banyak pihak yang melihat nilai sebagai ukuran kecerdasan. Aku mengalami fenomena itu di sini, ketika proses kegiatan belajar mengajar, sering kali murid terlihat aktif dan mampu mengerjakan soal. Akan tetapi jangan harap pemandangan yang sama terjadi ketika ujian, jawaban yang ditulis kacau balau tertukar-tukar. Mereka lupa, dan mereka tidak ada niatan untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Hari ini inget besok sudah lupa. Sediiiiiih rasanya :(

Pemaksaan kognitif jelas dinilai akan merusak akhlak dan kreatifitas. Tapi tipekal murid-murid di sini ketika tidak dipaksa mereka justru hura-hura. Yang ada dikasih hari minta jantung. Bahkan ketika aku mengajar dengan kebebasan, maka dengan bebasnya pula para murid mengacaukan suasana. Selama masih dalam batas wajar aku kasih kartu kuning, tapi kalau sudah kelewatan aku kasih kartu merah dengan hukuman yang sama dengan di lapangan sepak bola.

Kembali lagi ke masalah nilai, hari ini aku menilai ujian akhir semester murid-muridku. Hasilnya mengecewakan, berbeda jauh dengan apa yang telah mereka tuntaskan sehari-hari. Aku sampai tercekat melihat hasil ujiannya. Dengan santai mereka malah ketawa-ketiwi, sedangkan aku gigit jari. Mungkin ketika aku membuat KKM, niscaya banyak anak yang tidak mencapainya. Saat ini aku merasa gagal, seperti semua usaha sia-sia. Tapi mereka tenang-tenang saja, karena mereka selalu yakin guru akan membantu menaikkan tingkat mereka. Yang penting naik kelas, kualitas yah nomer selanjutnya.

Sejujurnya aku ini seperti sedang hilang arah. Tidak tahu letak kesalahannya di mana. Nilai bisa dikatagorikan bukan tolak ukur, tapi sepertinya pola pikir juga sangat amat berpengaruh dalam hal ini.


Senin, 04 Juni 2012

Kentungan dan Gerhana Bulan


Sewaktu aku di Bandung aku pernah menyaksikan gerhana bulan total, yang tadinya bulan purnama bersinar dengan indahnya lama-lama cahayanya menghilang. Aku melihatnya dari balik kemudi mobilku, sepanjang perjalanan Aku menyaksikan hilangnya sang rembulan. Sayup-sayup Aku mendengan suara takbir, rasanya seperti malam takbiran menyambut hari Lebaran saja.

Aku merasa beruntung melihat gerhana bulan, karena peristiwa ini jarang terjadi. Seringnya aku hanya dengar di buku mata pelajaran IPA saja. Tapi ya itu tadi, Aku hanya merasa beruntung saja, tidak kurang tidak lebih. Berbeda halnya dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat di Tulang Bawang Barat ini, khususnya di Desa Indraloka 2.

Aku sudah mengalami dua kali gerhana bulan selama berada di sini. Kali pertama pada 10 Desember 2011, aku bingung, karena masyarakat desa ini seperti membunyikan kentungan. Seperti apa yang Aku ketahui, jikalau kentungan berbunyi pasti adalah tanda bahaya. Aku bertanya kepada seorang muridku, mengapa orang-orang membunyikan kentungan?

"Emang Ibuk ga tau? Di sini memang seperti itu Buk kalau gerhana bulan," jelasnya.

Konon katanya gerhana bulan yang terjadi di malam hari adalah akal-akalan dari roh jahat yang ingin mengambil ternak milik masyarakat. Keadaan yang gelap dimanfaatkan untuk mencuri ternak. Warga yang ketakutan pun ingin mencegah kejadian tersebut, sehingga semua sepakat untuk membunyikan kentungan agar "benda yang menghalangi" cahaya bulan segera menghilang, dan bulan pun bisa bersinar kembali.

"Ayo buk, kita ikut membunyikan kentungan!"

Aku tertawa menyaksikan ulah muridku itu. Besar di kota membuat aku tabu akan hal-hal seperti ini. Bahkan aku tak menyangka di tahun 2012 seperti ini masih ada kepercayaan seperti itu. Tapi di sinilah keunikannya, melihat dan merasakan hal-hal baru di daerah baru itu sungguh luar biasa. Memperkaya pengetahuanku tentang nusantara. Bahwasanya gerhana bulan itu di sebagian benak penduduk Indonesia bukanlah bulan yang tertutup oleh bayangan umbra bumi.

Hari ini ketika aku melintas di kampung Bali sepulang dari dokter gigi, aku mendengar kembali suara kentungan. Refleks aku melihat ke langit mencari bulan, aku bertanya-tanya apa iya hari ini gerhana bulan? Ternyata memang benar, ketika aku terjun ke dalam linimasa dunia maya tersebutlah bahwa malam ini terjadi gerhana bulan sebagian.

Satu hal yang aku pelajari, walaupun globalisasi sudah terjadi di sana sini, kebudayaan akan terus hidup turun temurun tanpa ada aturan tertulis. Ini adalah salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Masih banyak kebudayaan-kebudayaan lain di nusantara ini yang tersembunyi, bahkan nyaris terlupakan. Kalau aku tidak datang ke sini, mungkin aku adalah salah satu generasi yang hilang akan tradisi.

Dua Sisi Pernikahan

"Mbak Mel tahu Mia?"
"Tahu, yang anak SMP itu kan?"
"Iya, malam ini dia lamaran"
"HAH?"

Perbincangan ini terjadi hari Sabtu ( 2/06) lalu. Cerita tentang Mia ini aku dapatkan dari Ibu Angkatku selama Aku tinggal di Tulang Bawang Barat ini. Ya, cerita tentang pada akhirnya banyak perempuan di desa memutuskan menikah di usia sekolah.

"Yah begitulah Mbak kalau di desa, perempuan kalau sudah selesai sekolah dari pada nggak ngapa-ngapain ya lebih baik dinikahkan saja."

Banyak sekali aku menemukan fenomena itu di sini. Bayangkan pertama kali aku datang dan berkenalan dengan tetangga, aku bertemu dengan seorang gadis muda berumur 18 tahun. Aku pikir dia bisa jadi temanku di sini, tapi setelah Aku masuk ke rumahnya ternyata dia sudah memiliki anak yang hampir berumur 2 tahun. Selulus SMP dia menikah dengan lelaki yang seumur denganku yang kerjanya pun serabutan. Kalau mendapatkan kasih sayang yang setimpal sih menurutku tidak jadi masalah, tapi Aku melihatnya dia lebih terlihat seperti pelayan pribadinya sang suami.

Ketika aku tanyakan lebih lanjut kepada Ibu memanglah seperti itu keadaannya. Anak gadis dari pada tidak ada kerjaan, lebih baik dinikahkan saja untuk meringankan beban orang tua. Bahkan kalau tidak dinikahkan malah jadi pusat omongan. Dinikahkannya pun tidak melihat bebet bobot dan bibit si calon suami asal suka yah langsung saja ke KUA. Tapi kalau tidak suka tapi orang tua sudah suka yah terima nasib aja.

Aku memandang ini semua seperti dua sisi mata uang yang memiliki nilai yang berbeda. Di satu sisi aku melihat bagaimana seorang wanita seperti membeli kucing dalam karung. Dia menyerahkan hidupnya untuk seseorang tanpa berpikir panjang, karena yang penting menikah. Apa yang terjadi setelah itu? Tingkat perselingkuhan dan tingkat perceraian di desa ini sangat tinggi. Tidak jarang kabar tersiar tentang si ini mau cerai lah, si itu selingkuh lah, si ini pergi tidak kembali-kembali, dan si itu yang nikah kembali padahal masih memiliki keluarga.

Coba bayangkan yah, ada seorang laki-laki dengan pekerjaan hanyalah sebagai supir truck, tapi dia nikah sudah hampir tiga kali bahkan tiga-tiganya keluarganya berantakan. Aku jadi berpikir dia ini menikah hanya untuk menyalurkan nafsu kepada pihak wanita atau memang benar-benar ingin menikah di jalan Tuhan? Bahkan aku pun berpikir apa ada yang salah dengan si wanita ini sampai-sampai mau saja dinikahkan oleh lelaki macam itu. Apa yang bisa diberikan oleh si lelaki ini dengan hanya bermata pencaharian sebagai seorang supir truck untuk istri-istrinya? Pemuasan nafsu?

Tidak berpikir panjang, siapa korban selanjutnya ketika pernikahan-pernikahan seperti ini terjadi? Anak-anak.

Setiap saat aku mendengar orang yang menikah muda, setiap saat aku teringat oleh murid-muridku yang memiliki tekanan batin dalam dirinya. Yang berpura-pura bahagia seperti teman-temannya, akan tetapi dalam hati kecilnya menangis tersedu-sedu mengingat ayah dan ibunya. Entah ayahnya yang pergi atau ibunya yang pergi, sehingga yang mengasuh pada akhirnya ya nenek dan kakeknya yang dulu berperan sebagai orang yang menikahkan orang tua si anak.

Ada seorang muridku, dia memiliki tubuh yang sangat kecil padahal dia sudah kelas 5 SD. Pikirannya entah kemana, sehingga dia lambat dalam menerima pelajaran. Ketika kegiatan belajar mengajar dia selalu saja tidak konsentrasi dan hilang fokus, sering aku menegurnya, Nilai-nilainya pun sudah bisa ditebak, seperti tangga nada tapi berhenti di sol. Pekerjaan rumah jarang dikerjakan pula olehnya. Aku pun tidak bisa tutup mata dan tutup telinga, sehingga aku selalu memberikan perhatian lebih kepada anak ini. Tapi itu tidak memberikan perubahan, sehari dua hari bereaksi tapi hari-hari selanjutnya pun mulai hilang efek sampingnya.

Akhirnya aku pun memanggil orang tuanya ke sekolah, tidak ada tujuan lain aku hanya ingin menyampaikan perkembangan anaknya. Dilihat dari nilai-nilainya anak ini belum bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan standar yang ditetapkan sekolah. Aku sebenarnya bukan seorang guru yang memandang si anak pintar melalui nilai saja, aku selalu melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh murid-muridku. Tapi sekolah tetap memandang salah satu syarat naik kelas adalah nilai. Aku pun berbicara panjang lebar dengan sang Ayah, bahkan aku sampai menangis di depan sang Ayah. Semustinya itu tidak terjadi, tapi air mata ini rasanya tidak bisa dibendung lagi.

AKu tahu latar belakang dari muridku ini. Dia sudah dua kali ditinggal oleh ibunya. Sama sekali dia kurang mendapat perhatian dari sang Ayah, karena sang Ayah sibuk berladang. Padahal kalau di lingkungan masyarakat Ayahnya ini terkenal sebagai pemuka agama. Sedangkan kakaknya hanyalah seorang pemuda desa yang  tidak mau sekolah dan kerjanya menjadi buruh di ladang karet. Muridku ini total tidak mendapat perhatian dari siapapun, sehingga tingkah lakunya pun menjadi aneh cenderung menjadi orang yang haus akan perhatian.

Aku hanya mampu bilang, miris.

Akan tetapi, fenomena ini seperti dua sisi mata uang. Di sisi yang lain aku melihat beberapa keluarga hidup bahagia di tengah-tengah keterbatasan. Mereka tidak peduli dengan jumlah materi yang ada, karena menurut mereka berkumpul dengan keluarga adalah hal yang paling mahal yang belum tentu bisa dibeli oleh semua orang.

"Apalah artinya kita punya harta yang berlimpah, kalau ujung-ujungnya kita hidup sendiri tanpa ditemani oleh anak dan isteri. Mungkin orang-orang itu duitnya banyak, tapi hatinya kosong. Tidak selamanya kebahagiaan itu berasal dari harta," ujar salah seorang Bapak yang pernah aku temui akan tetapi aku lupa namanya.

Ketika suatu keluarga semerawut, tapi keluarga ini aman dan tentram dengan keadaannya. Bukan berarti menyerah kepada keadaan, akan tetapi lebih mensyukuri keadaan yang sedang dijalaninya dengan saling pengertian satu sama lain. Setelah Aku lihat, yang membedakan dari keluarga ini adalah ketika sang Ayah dan sang Ibu menikah berdasarkan rasa cinta. Ketika mereka bersatu dan melahirkan seorang anak, bukanlah dipandang sebagai beban akan tetapi suatu karunia. Kesulitan yang mereka hadapi dilewati bersama-sama, sehingga terciptalah suasana yang harmonis. Siapa sangka, keluarga ini belum tentu makan 3 kali sehari. Tetapi susah senang senantiasa mereka lewati bersama-sama.

Jumat, 01 Juni 2012

Ketika Kuajak Mereka Jalan-Jalan Keliling Dunia



Coba lihat tulisan dari tangan-tangan kecil ini, mereka punya mimpi yang tinggi untuk melihat Dunia.

***
Kalau tidak salah hari itu Hari Sabtu, (12/5). Hari di mana aku dan murid-muridku di SD Negeri 01  Indraloka 2 latihan Pramuka untuk yang kesekian kalinya. Sebelum pergi ke sekolah, aku sempat bingung, kira-kira apa yang harus kami lakukan nanti, rasanya hampir semua materi Pramuka sudah aku berikan, dari mulai sejarah, lambang, sandi, bikin tenda, tali temali (yang ini jarang sih soalnya aku lupa caranya hahahaha), baris berbaris, dan lain-lain. Aku takut murid-muridku mulai bosan dengan kegiatan Pramuka ini.

Tiba-tiba aku melihat peta dunia yang aku beli di Tanjung Karang tempo hari. Terbesit sebuah ide untuk mengajak anak-anak Pramuka ini keliling dunia.

Percaya atau tidak aku ini sama sekali tidak pernah mengikuti organisasi Pramuka, waktu SD sekalipun. Tantangan menjadi guru SD di Tulang Bawang Barat ini bertambah ketika ternyata aku juga harus bisa menjalankan ekstrakulikuler di sekolah, dan Pramuka ini adalah salah satu pilihannya. Buku saku Pramuka bisa dijadikan pegangan, tapi kreatifitas benar-benar harus menjanjikan. Aku seperti seorang tim kreatif sebuah televisi yang harus siap dengan ide-ide menarik untuk ditayangkan, agar tidak ditinggalkan oleh para pemirsa. Apalagi ketika pemirsanya anak-anak, yang apabila kita tidak menarik perhatiannya, dengan mudah kita akan ditinggalkan dan mereka akan mencari hal-hal yang lebih menarik lagi.

Setibanya di sekolah aku langsung memasang peta dunia di papan tulis hitam yang terkontaminasi oleh serbuk-serbuk kapur tulis. Para Pramuka Siaga itu langsung tertarik perhatiannya. Maklumlah sekolah ini bisa dibilang sekolah darurat, sehingga mungkin baru kali itu juga mereka melihat peta dunia. Seluruh mata langsung memerhatikan papan tulis.

"Salam Pramuka!"
"Salam"
"Baiklah, hari ini Kakak akan mengajak kalian pergi keliling dunia. Siapa di sini yang mau pergi keliling dunia?"
"AKUUUUUUU," banyak suara bertautan.

Aku menjelaskan terlebih dahulu bahwa di bumi ini ada lima benua. Setiap benua memiliki negara yang punya ciri khas masing-masing. Ketika aku menjadi guru di sekolah ini, aku sering memotivasi murid-muridku agar mereka bisa memiliki cita-cita setinggi langit dan melihat dunia. Baru melihat petanya saja mereka sudah senang bukan kepalang, apalagi kalau memang mereka bisa benar-benar melihatnya :')

"Sekarang, tunjuk satu negara impian yang menjadi tujuanmu kelak nanti. Gunakan imajinasi kalian lalu utarakan kenapa kalian ingin kesana. Janga ragu untuk memilih negara tujuan, mungkin saat ini kita semua hanya bermimpi, tapi tidak ada yang tahu akhir dari mimpi-mimpi itu apakah akan menjadi kenyataan atau tidak. Semuanya tergantung langkah kaki kalian apakah ingin mengejar mimpi-mimpi itu atau hanya diam di tempat."

Semua anak menyerap kata-kataku sambil melemparkan senyuman. Mata mereka menatap peta dunia, pikirannya menerawang jauh ke negara impiannya. Mereka pun mendekati papan tulis lalu menunjuk negara impiannya, menggambarkan benderanya, dan menuliskan untaian-untaian kata mengapa mereka ingin pegi ke sana. Para Pramuka Siaga ini pun melemparkan banyak tanya tentang suatu negara, aku pun menjawab semampuku.

Tidaklah perlu kami membeli tiket pesawat yang mahal. kami hanya perlu memiliki daya imajinasi yang tinggi dan sebuah peta dunia. Semua tinggal tunjuk negara mana yang ingin dituju. Kami bersenang-senang saat itu.

Seperti lambang Pramuka tunas kelapa yang bisa tumbuh di mana saja, walaupun murid-muridku ini berasal dari Tulang Bawang Barat, tidak menutup kemungkinan mereka bisa pergi ke seluruh penjuru dunia.