Pengintip

Senin, 04 Juni 2012

Dua Sisi Pernikahan

"Mbak Mel tahu Mia?"
"Tahu, yang anak SMP itu kan?"
"Iya, malam ini dia lamaran"
"HAH?"

Perbincangan ini terjadi hari Sabtu ( 2/06) lalu. Cerita tentang Mia ini aku dapatkan dari Ibu Angkatku selama Aku tinggal di Tulang Bawang Barat ini. Ya, cerita tentang pada akhirnya banyak perempuan di desa memutuskan menikah di usia sekolah.

"Yah begitulah Mbak kalau di desa, perempuan kalau sudah selesai sekolah dari pada nggak ngapa-ngapain ya lebih baik dinikahkan saja."

Banyak sekali aku menemukan fenomena itu di sini. Bayangkan pertama kali aku datang dan berkenalan dengan tetangga, aku bertemu dengan seorang gadis muda berumur 18 tahun. Aku pikir dia bisa jadi temanku di sini, tapi setelah Aku masuk ke rumahnya ternyata dia sudah memiliki anak yang hampir berumur 2 tahun. Selulus SMP dia menikah dengan lelaki yang seumur denganku yang kerjanya pun serabutan. Kalau mendapatkan kasih sayang yang setimpal sih menurutku tidak jadi masalah, tapi Aku melihatnya dia lebih terlihat seperti pelayan pribadinya sang suami.

Ketika aku tanyakan lebih lanjut kepada Ibu memanglah seperti itu keadaannya. Anak gadis dari pada tidak ada kerjaan, lebih baik dinikahkan saja untuk meringankan beban orang tua. Bahkan kalau tidak dinikahkan malah jadi pusat omongan. Dinikahkannya pun tidak melihat bebet bobot dan bibit si calon suami asal suka yah langsung saja ke KUA. Tapi kalau tidak suka tapi orang tua sudah suka yah terima nasib aja.

Aku memandang ini semua seperti dua sisi mata uang yang memiliki nilai yang berbeda. Di satu sisi aku melihat bagaimana seorang wanita seperti membeli kucing dalam karung. Dia menyerahkan hidupnya untuk seseorang tanpa berpikir panjang, karena yang penting menikah. Apa yang terjadi setelah itu? Tingkat perselingkuhan dan tingkat perceraian di desa ini sangat tinggi. Tidak jarang kabar tersiar tentang si ini mau cerai lah, si itu selingkuh lah, si ini pergi tidak kembali-kembali, dan si itu yang nikah kembali padahal masih memiliki keluarga.

Coba bayangkan yah, ada seorang laki-laki dengan pekerjaan hanyalah sebagai supir truck, tapi dia nikah sudah hampir tiga kali bahkan tiga-tiganya keluarganya berantakan. Aku jadi berpikir dia ini menikah hanya untuk menyalurkan nafsu kepada pihak wanita atau memang benar-benar ingin menikah di jalan Tuhan? Bahkan aku pun berpikir apa ada yang salah dengan si wanita ini sampai-sampai mau saja dinikahkan oleh lelaki macam itu. Apa yang bisa diberikan oleh si lelaki ini dengan hanya bermata pencaharian sebagai seorang supir truck untuk istri-istrinya? Pemuasan nafsu?

Tidak berpikir panjang, siapa korban selanjutnya ketika pernikahan-pernikahan seperti ini terjadi? Anak-anak.

Setiap saat aku mendengar orang yang menikah muda, setiap saat aku teringat oleh murid-muridku yang memiliki tekanan batin dalam dirinya. Yang berpura-pura bahagia seperti teman-temannya, akan tetapi dalam hati kecilnya menangis tersedu-sedu mengingat ayah dan ibunya. Entah ayahnya yang pergi atau ibunya yang pergi, sehingga yang mengasuh pada akhirnya ya nenek dan kakeknya yang dulu berperan sebagai orang yang menikahkan orang tua si anak.

Ada seorang muridku, dia memiliki tubuh yang sangat kecil padahal dia sudah kelas 5 SD. Pikirannya entah kemana, sehingga dia lambat dalam menerima pelajaran. Ketika kegiatan belajar mengajar dia selalu saja tidak konsentrasi dan hilang fokus, sering aku menegurnya, Nilai-nilainya pun sudah bisa ditebak, seperti tangga nada tapi berhenti di sol. Pekerjaan rumah jarang dikerjakan pula olehnya. Aku pun tidak bisa tutup mata dan tutup telinga, sehingga aku selalu memberikan perhatian lebih kepada anak ini. Tapi itu tidak memberikan perubahan, sehari dua hari bereaksi tapi hari-hari selanjutnya pun mulai hilang efek sampingnya.

Akhirnya aku pun memanggil orang tuanya ke sekolah, tidak ada tujuan lain aku hanya ingin menyampaikan perkembangan anaknya. Dilihat dari nilai-nilainya anak ini belum bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan standar yang ditetapkan sekolah. Aku sebenarnya bukan seorang guru yang memandang si anak pintar melalui nilai saja, aku selalu melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh murid-muridku. Tapi sekolah tetap memandang salah satu syarat naik kelas adalah nilai. Aku pun berbicara panjang lebar dengan sang Ayah, bahkan aku sampai menangis di depan sang Ayah. Semustinya itu tidak terjadi, tapi air mata ini rasanya tidak bisa dibendung lagi.

AKu tahu latar belakang dari muridku ini. Dia sudah dua kali ditinggal oleh ibunya. Sama sekali dia kurang mendapat perhatian dari sang Ayah, karena sang Ayah sibuk berladang. Padahal kalau di lingkungan masyarakat Ayahnya ini terkenal sebagai pemuka agama. Sedangkan kakaknya hanyalah seorang pemuda desa yang  tidak mau sekolah dan kerjanya menjadi buruh di ladang karet. Muridku ini total tidak mendapat perhatian dari siapapun, sehingga tingkah lakunya pun menjadi aneh cenderung menjadi orang yang haus akan perhatian.

Aku hanya mampu bilang, miris.

Akan tetapi, fenomena ini seperti dua sisi mata uang. Di sisi yang lain aku melihat beberapa keluarga hidup bahagia di tengah-tengah keterbatasan. Mereka tidak peduli dengan jumlah materi yang ada, karena menurut mereka berkumpul dengan keluarga adalah hal yang paling mahal yang belum tentu bisa dibeli oleh semua orang.

"Apalah artinya kita punya harta yang berlimpah, kalau ujung-ujungnya kita hidup sendiri tanpa ditemani oleh anak dan isteri. Mungkin orang-orang itu duitnya banyak, tapi hatinya kosong. Tidak selamanya kebahagiaan itu berasal dari harta," ujar salah seorang Bapak yang pernah aku temui akan tetapi aku lupa namanya.

Ketika suatu keluarga semerawut, tapi keluarga ini aman dan tentram dengan keadaannya. Bukan berarti menyerah kepada keadaan, akan tetapi lebih mensyukuri keadaan yang sedang dijalaninya dengan saling pengertian satu sama lain. Setelah Aku lihat, yang membedakan dari keluarga ini adalah ketika sang Ayah dan sang Ibu menikah berdasarkan rasa cinta. Ketika mereka bersatu dan melahirkan seorang anak, bukanlah dipandang sebagai beban akan tetapi suatu karunia. Kesulitan yang mereka hadapi dilewati bersama-sama, sehingga terciptalah suasana yang harmonis. Siapa sangka, keluarga ini belum tentu makan 3 kali sehari. Tetapi susah senang senantiasa mereka lewati bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar