Pengintip

Kamis, 07 Juni 2012

Pernah Merasa Gagal?

Menjadi seorang guru bukan serta merta hanya datang ke sekolah, buka buku, cuap-cuap sampe lonceng berbunyi. Seperti robot yang sudah memiliki sistem untuk melakukan hal-hal yang sama setiap harinya. Aku selalu menyerap dalam-dalam dengan apa yang dikatakan oleh Munif Chatib, alangkah baiknya ketika seorang guru menjadi gurunya manusia. Seorang guru yang menjadikan murid-muridnya sebagai seorang juara, menggalikan harta karun yang terbenam di dalam diri muridnya, memahami kemampuannya, lalu mengembangkannya.

Semustinya seperti itu, tapi kenyataannya memble.

Entahlah, sudah tujuh bulan aku di sini. Menjadi seorang guru yang melihat sisi kehidupan lain dari masyarakat Indonesia. Berinteraksi dengan anak-anak dari berbagai macam latar belakang, bahkan terkadang aku sering lupa dari mana aku berasal. Setiap harinya aku berangkat ke sekolah menyampaikan materi demi materi sampai murid-muridku itu mencapai indikator yang ada. Sistem indikator ini mungkin akan terasa lambat, karena murid harus benar-benar memahami konsep dan mencapai indikator yang ada, ketika sudah tercapai baru melangkah ke kompetensi dasar selanjutnya. Tapi ketika murid paham akan konsep, niscaya mereka akan lebih mudah menyelesaikan modifikasi soal.

Lagi-lagi itu semua tergantung kepada sang guru, mampu atau tidaknya indikator tercapai sebanding dengan apa yang disampaikan olehnya.

Aku sedikit mengalami kesulitan di sini, pola pikir dan sistem yang sudah menjamur membuat sulit menerapkan teori yang ada. Entahlah apa yang salah dengan sistem di sekolah tempat aku bertugas ini, murid-muridnya belum menaruh perhatian khusus terhadap kemajuan dirinya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menganggap ujian adalah hal yang biasa-biasa saja. Mereka ingin naik kelas, tapi usaha yang diberikan kurang. Mungkin mereka ingin memakai cara kerja bengkel ketok magic kali yaa.

Simpang siur nilai ujian mulai beradaptasi dengan kuping ini. Beberapa pihak tidak setuju bahwa kecerdasan anak hanya dilihat dari nilai (termasuk aku), akan tetapi masih banyak pihak yang melihat nilai sebagai ukuran kecerdasan. Aku mengalami fenomena itu di sini, ketika proses kegiatan belajar mengajar, sering kali murid terlihat aktif dan mampu mengerjakan soal. Akan tetapi jangan harap pemandangan yang sama terjadi ketika ujian, jawaban yang ditulis kacau balau tertukar-tukar. Mereka lupa, dan mereka tidak ada niatan untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Hari ini inget besok sudah lupa. Sediiiiiih rasanya :(

Pemaksaan kognitif jelas dinilai akan merusak akhlak dan kreatifitas. Tapi tipekal murid-murid di sini ketika tidak dipaksa mereka justru hura-hura. Yang ada dikasih hari minta jantung. Bahkan ketika aku mengajar dengan kebebasan, maka dengan bebasnya pula para murid mengacaukan suasana. Selama masih dalam batas wajar aku kasih kartu kuning, tapi kalau sudah kelewatan aku kasih kartu merah dengan hukuman yang sama dengan di lapangan sepak bola.

Kembali lagi ke masalah nilai, hari ini aku menilai ujian akhir semester murid-muridku. Hasilnya mengecewakan, berbeda jauh dengan apa yang telah mereka tuntaskan sehari-hari. Aku sampai tercekat melihat hasil ujiannya. Dengan santai mereka malah ketawa-ketiwi, sedangkan aku gigit jari. Mungkin ketika aku membuat KKM, niscaya banyak anak yang tidak mencapainya. Saat ini aku merasa gagal, seperti semua usaha sia-sia. Tapi mereka tenang-tenang saja, karena mereka selalu yakin guru akan membantu menaikkan tingkat mereka. Yang penting naik kelas, kualitas yah nomer selanjutnya.

Sejujurnya aku ini seperti sedang hilang arah. Tidak tahu letak kesalahannya di mana. Nilai bisa dikatagorikan bukan tolak ukur, tapi sepertinya pola pikir juga sangat amat berpengaruh dalam hal ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar