Pengintip

Minggu, 24 Juni 2012

Sekali lihat, Jatuh Cinta!

Beberapa waktu lalu ketika aku sedang berlibur ke Phuket, secara tidak sengaja sambil mengemudikan motor yang aku sewa aku melihat sebuah baju. Baju bermotif etnik dengan warna dasar merah muda dan bercorakkan berbagai macam warna. Aku melihat sekilas dan aku langsung jatuh hati. Sayang aku sedang melaju dengan kencang dan mengejar waktu. Aku melewatkan si baju begitu saja. Tapi pandangan pertama itu menuai kesan dalam benakku. Aku tidak tenang, aku berkata kepada temanku aku ingin baju itu. Toko demi toko kami susuri hanya untuk mendapatkan baju itu, hasilnya nihil. Untuk kembali ke toko di mana aku melihat baju tersebut pun jaraknya cukup jauh. Aku hanya bisa pasrah menahan perasaan itu. Perasaan ingin memiliki. 

Apa ini yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama? Aku tak tahu. Tapi jika yang seperti ini adalah  cinta pandangan pertama, berarti aku pernah merasakannya, mungkin hingga saat ini.

***

Aku melihatnya saat itu, aku sedang berjalan di sebuah lorong dan dia di dalam sebuah ruangan. Sekilas saja, tapi itu semua terekam jelas wajahnya dan pandangan yang dia lempar ke arahku. Semua terjadi begitu cepat dan singkat, perasaan ini entah apa namanya.

Dia seperti patung diam seribu bahasa, membuat aku menjadi penasaran dia itu manusia apa setan? Gerak-geriknya santai, seperti seorang mata-mata yang sedang memerhatikan target operasi. Tidak ada interaksi sama sekali. Tapi perasaan ini tetap ada. Mungkin diam-diam aku jatuh cinta, tanpa alasan, tanpa sebab, mata ini sudah berulah kepada hati.

Suatu saat Aku melihatnya kembali, tanpa ada kemudi kaki melangkah mendekatinya. Aku memulai pembicaraan, basa-basi. Seperti inilah sistem yang ada di kepalaku, spontan tanpa rencana, meledak tanpa ada api penyulut sumbu, seperti bau kentut yang tiba-tiba tercium. Spontan selalu saja spontan. Kami tertawa, kami bicara, kami saling tegur sapa, sepertinya kami punya cerita.

Sudah lama aku mati rasa, tapi kenapa hanya dari kilasan penglihatan tiba-tiba semua menjadi merah muda? Jatuh cinta itu tidak bisa diatur, perasaan itu  seperti tamu tidak diundang. Hanya tinggal menghitung satu dua tiga, pikiran sudah mulai penuh dengan dirinya yang entah siapa.

Aku anggap ini semua hanya permainan. Tapi aku terlalu maniak dengan permainan ini. Tanpa perlu sebuah program, secara otomatis mata ini mencari, melihat, tersenyum, berkhayal, lalu diam. Terus menerus seperti sistem lampu lalu lintas dimana merah itu berhenti, kuning hari-hati, hijau untuk maju. Aku menikmati permainan ini, tidak peduli apakah ini khayalan atau bukan tapi menurutku ini semua menyenangkan. Tidak pernah ada yang tau apa yang aku rasakan, hanya aku yang tau bagaimana rasa dari semua ini.

Teredam waktu aku hanya diam. Aku tidak terlalu mengindahkan perasaan jatuh cinta, tidak bisa aku spontan seperti biasanya, aku menikmati secara diam-diam. Tidak ada yang tau, hanya aku. Sampai hari ini aku masih merasa hal yang sama, tidak berubah seperti cerita dalam sebuah drama. Tidak ada ujung pangkalnya. Padahal sudah lama kami tidak tertawa, kami tidak bicara, bahkan untuk bertegur sapa. Kami berada dalam dunia kita. Rindu pun sepertinya menyiksa.



Tapi perasaan ini tetap sama, tidak berputar seperti bumi dengan porosnya. Aku jatuh cinta kepadanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada akhir bahagia, karena ini semua seperti sejarah Indonesia, terkurung dalam ruang dan waktu sehingga tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Hanya mengetahui sedikit kabarnya saja aku sudah bahagia walau hanya lewat dunia maya. Terkadang jatuh cinta bisa membuat orang sedikit kehilangan akal sehatnya. Tenggelam dalam lautan perasaan, lupa bahwa nelayan harus tetap mencari ikan.

Andaikan dia tahu, tapi apakah menjadi tahu akan menimbulkan akhir sebuah cerita. Justru dalam diam, semua akan tetap hidup dalam kenangan walaupun pada akhirnya ini semua hanya berbentuk bayang-bayang.

Ketika kami berpindah tempat menuju daerah lain, aku melihatnya sekilas dari kejauhan. Baju yang aku idam-idamkan, tertutup di antara baju-baju yang bergantung di langis-langit sebuah toko kelontong. Aku seperti bertemu dengan jodohku, tanpa pikir panjang aku langsung membelinya. Saat itu seperti dalam pelajaran peluang di matematika, peluang aku bisa bertemu lagi dengan baju itu sebenarnya sangat kecil. Tapi ternyata cerita berakhir dengan bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar